Tuesday, August 21, 2012

Dilarang Pelihara Gundik!

IP is over the quota

PADA mulanya perempuan berkulit putih yang berkeliaran di Batavia hanyalah istri dan anak-anak perempuan para pejabat VOC yang diberi izin khusus untuk tinggal di Hindia Belanda.

Tidak semua jejaka Eropa di Batavia mampu menikahi anak-anak perempuan yang terbiasa hidup mewah itu. Sebagian besar jejaka itu bekerja sebagai pelaut atau pegawai rendahan VOC. Mereka tak mungkin dapat membiayai rumah tangga dengan banyak budak, apalagi membelikan perhiasan dan pakaian mewah untuk istri-istri berdarah Belanda yang dibesarkan di Batavia!

Bagaimana dengan gelora dan darah lelaki Belanda yang mendidih oleh panasnya matahari di khatulistiwa? Sebetulnya tidak ada jalan lain kecuali mencari "kasih-sayang" dalam pelukan perempuan pribumi.

Sampai sekarang belum ditemukan dokumentasi mengenai pelacuran di Batavia. Barangkali memang pada masa itu belum ada pelacur pribumi. Kehadiran budak-budak perempuan yang terpaksa pasrah menemani tuannya, di tempat tidur meniadakan kebutuhan akan pelacur. Karena budak-budak itu sudah tinggal di bawah satu atap, pergundikan muncul dan terjadi begitu saja.

Sebetulnya, Gubernur Jenderal di Hindia Belanda, Jan Pieterszoon (JP) Coen, yang rajin ke gereja, melarang praktik pergundikan (lihat Reggie Baay. De Njai: Het Concubinaat in Nederlands-Indie. Amsterdam: Athenaeum-Polak & Van Gennep. 2008). Ia dan para pejabat tertinggi di Batavia mendukung perkawinan antara pria Eropa dan perempuan Eropa atau perempuan berdarah campuran.

Namun, pada masa itu perempuan-perempuan berkulit putih yang dapat dinikahi hanyalah anak-anak perempuan pejabat. Jumlahnya tak banyak dan mereka sudah terbiasa pula dengan kehidupan mewah yang disediakan oleh Pappienya.

Larangan JP Coen merepotkan juga karena sebagian besar warga Batavia merupakan pegawai-pegawai rendah dan serdadu miskin. Mereka tak mampu menikahi seorang perempuan (Indo)-Eropa. Walaupun ketika itu, perkawinan lelaki Eropa dengan perempuan pribumi juga direstui. Namun, mereka harus mendapatkan izin dari atasannya untuk menikah.

Bila perempuan yang hendak diperistri merupakan budak, ia harus dibebaskan dulu dari belenggu perbudakan itu dengan membayar tunai kemerdekaannya.

Budak perempuan, calon pengantin itu, harus pula beragama Kristen atau secepatnya dibaptis di gereja. Dalam waktu yang singkat, budak perempuan yang menikah dengan tuannya tidak hanya mendapatkan suami baru, ia juga memperoleh agama dan nama Kristen yang baru pula!

Seperti kupu-kupu yang keluar dari kepompong, si Iyem tiba-tiba menjadi Katrientje! Ia juga diharuskan belajar bahasa Belanda, tetapi dalam praktiknya, suami-isteri anyar itu lebih banyak berbahasa Melayu. Logis pula. Siapa yang masih bisa bercumbu dalam bahasa asing bila cinta sedang bergelora?

(frieda.amran@yahoo.com, pendiri Wariss: Warisan Insan di Selatan Sumatera)

Monday, August 20, 2012

Gurihnya Sate Tulang Ayam

IP is over the quota

SATE Tulang? Apa bisa tulang dimasukkan ke tusukan? Bagaimana bentuknya? Dan berbagai pertanyaan lainnya pun bermunculan. Namun, itulah menu andalan Kedai Sate Tulang Eldorado milik Stevanus yang terletak di pelataran parkir Apartemen Wisma Gading Permai Kelapagading, Jakarta Utara.

Mengapa bernama sate tulang? Stevanus menjelaskan bahwa sebutan itu dipakai karena daging ayam yang menjadi isi tusukan memang dipilih yang mengandung tulang. "Sate tulang kami merupakan jenis sate yang berbahan dasar ayam. Kami khusus menggunakan bagian punggung ayam, makanya terdapat tulang dalam satenya," tutur Stevanus kepada Warta Kota beberapa waktu lalu.

Dia menjelaskan proses penusukan ayam bertulang ke tusukan sate memang memerlukan teknik khusus. Sesuai dengan judul kedainya, sate tulang memang merupakan hidangan khas Banjarmasin Kalimantan. "Namun tidak sepopuler soto banjar yang telah merambah perkotaan. Sate tulang kebanyakan berkembang di daerah perkampungan. Kebetulan Oma dan Opa saya berasal dari sana," kata pria berjenggot tersebut.

Perbedaan racikan sate tulang khas Banjarmasin dengan sate ayam umumnya adalah pada bumbu. Jika kebanyakan sate ayam menggunakan bumbu kacang, ia lebih menonjolkan cabai merah giling sebagai bumbu hidangannya.

"Bumbunya pakai cabai merah giling, makanya warnanya merah. Banyak yang bilang mirip saus sambal yang beredar di pasaran. Namun rasanya pasti beda, rasanya pedas manis," ujar pria asal Banjarmasin, itu.

Menurutnya, soal bumbu sebetulnya di Banjarmasin pun memilik beberapa perbedaan tergantung latar yang memasak. Apabila mengambil versi orang pribumi maka bumbu yang digunakan adalah sambal kacang, namun jika yang mengolah merupakan keturunan China, sebagaimana dirinya, maka cabai gilinglah yang biasa digunakan.

Selain menu sate tulang, Stevanus juga punya menu lain yang tak jarang menjadi tandem sate tulang, yaitu soto banjar. Untuk soto yang menggunakan suwiran ayam tersebut, Eldorado menggunakan kuah bening. "Sebagaimana sate, soto banjar juga memiliki perbedaan tergantung latar pemasaknya. apabila pribumi mereka biasa pakai santan. Kalau keturunan ada yang pakai susu ada juga yang bening," katanya.

Setelah puas mengupas hidangan bersama sang pemilik, sekarang saatnya menyantap si tulang yang sedari tadi membuat penasaran. Tak lupa dengan sang tandem soto banjarnya.

Tak lama berselang makanan siap di hadapan saya. Sate dengan potongan isian ayam bagian punggung dalam ukuran cukup besar berjumlah sepuluh tusuk. Disajikan dalam sebuah piring, terpisah dari bumbu merah khas-nya. Meski akan menemukan tekstur keras dari tulang ketika menyantap, namun ada rasa khas dari tulang yang otomatis menjadi wajah tersendiri dalam hidangannya.

Tulangnya jadi bumbu

Saat digigit tentu sedikit keras karena gigi beradu dengan tulang. Perkara rasa, sate yang disantap tanpa bumbu merah didominasi oleh rasa manis yang menentramkan lidah. Meski terdapat aksen keras namun setelah dikunyah kenikmatanya semakin kentara. Meski ada tulang bukan berarti tanpa daging.

Karena bagian punggung ayam dekat dengan tulang dan juga kulit maka otomatis dagingnya pun amat lembut dan sedikit berlemak. Hal itu yang membuat rasanya sangat khas di lidah. Juicy, empuk, dan manis, namun tetap berjuang karena harus memisahkan daging dari tulangnya.

Intinya hidangan ini memiliki rasa khas yang masih belum ditemukan padanannya dalam kosakata lidah saya. Benar apa yang diucapkan Setavanus sebelumnya bahwa tulang belakangnya sendiri menjadi bumbu khusus hidangan tersebut. Betul-betul hidangan yang layak dijadikan referensi.

Saking nikmatnya saya sampai lupa belum menambahkan bumbu merah untuk melengkapi keabsahan hidangan tersebut. Bumbu merah cukup kental mirip saus sambal itu kemudian segera saya tambahkan ke sate.

Saat disantap peran bumbu merahnya jelas semakin memperkaya dimensi rasa hidangan tersebut. Jika sebelumnya manis merajalela kini terdapat rasa pedas yang sangat sopan menyelinap di indera perasa. Makin lengkaplah konsolidasi rasanya.

Kemudian soto banjar yang disajikan dengan kuah bening. Di dalamya terdapat soun, keripik kentang, suwiran ayam, potongan telur, dan perkedel. Rasa kuahnya benar-benar bersahabat di mulut. Tak ada sebuah tendangan bumbu yang mengejutkan, rasanya yang harmonis cocok menjadi tandem sate yang memberikan gejolak rasa lebih pada lidah. Tapi jelas satenya lebih oke menurut saya.

Dinda (24) salah seorang pengunjung yang hadir juga mengakui sedapnya hidangan sete tulang Eldorado. "Bumbunya dan rasa dagingnya emang jempol deh. Tapi buat orang yang pakai behel seperti saya memang rada repot sama tulangnya. Kesimpulannya tetap mantap," ujarnya.

Dalam sehari kedai Eldorado rata-rata menghabiskan 400 tusuk sate tulang yang berarti 15 kilogram ayam bagian punggung. Sedangkan untuk sotonya, Stevanus mengaku 30 porsi habis per harinya. Adapun omzet harian kedainya rata-rata mencapai Rp 2 juta.

Selain menu sate tulang, Eldorado juga menyajikan berbagai varian sate lainnya, yaitu daging ayam, kulit ayam, dan brutu ayam yang seporsi (berisi 10 tusuk) seharga Rp 30.000. Sedangkan untuk soto banjarnya dibanderol seharga Rp 17.000. "Cakupan harga keseluruhan berkisar antara Rp 1.500 - Rp 30.000," imbuh Stevanus.

Kedai sate berbentuk tenda sederhana tersebut buka setiap hari mulai pukul 18.00 hingga 23.30. Stevanus mengaku saat akhir pekan merupakan waktu sibuk di tempat usahanya.

Bagi Anda di sekitaran Kelapagading tak sabar mencicipi sate Eldorado, namun merasa berat berkunjung langsung tak masalah karena layanan pesan antar jadi solusinya. Tinggal hubungi nomor (021)97777283 atau 087878777283 (Stevanus) Anda bisa menuntaskan rasa penasaran. Selain pesan antar Eldorado juga melayani acara pesta, seperti perayaan hari besar keagamaan, maupun ulang tahun. (m11)

Batavia Sunyi saat Sensus Berlangsung

IP is over the quota
JANINE HELGA GROENEVELD WAROKKAPintu masuk Batavia Stad Fashion Outlet.

PEMERINTAH Hindia-Belanda memutuskan melakukan sensus penduduk secara serentak di seluruh nusantara pada tahun 1930 (G Termorshuizen. Realisten en Reactionairen: Een Geschiedenis van de Indisch-Nederlandse Pers 1905-1942. Leiden: KITLV, 2011).

Tak seorang pun dapat menghindari sensus itu. Semua orang, termasuk warga Eropa, China, dan Arab, yang mengalami peristiwa itu takkan dapat melupakannya. Rencana pendataan penduduk itu didahului dengan berbagai pengumuman dan penyebaran informasi oleh pemerintah di masing-masing kota.

Hari Selasa, 7 Oktober 1930, ratusan petugas sensus disebarkan di seluruh wilayah Batavia. Pagi itu, di halaman pertama Het Bataviaasch Nieuwsblad tampak sebuah pengumuman dengan huruf-huruf bercetak tebal: “Heden heeft hier ter stede de momenttelling plaats. De tellers beginnen hun arbeid om half 7 uur in de namiddag. BLIJFT HEDENAVOND THUIS! Houdt uw honden tussen half 7 en 10u s’avonds aan een ketting!” (Hari ini di kota akan dilakukan pendataan penduduk. Petugas-petugas pendataan akan mulai bekerja pada pukul 18.30, malam hari. TINGGALLAH DI RUMAH! Di antara pukul 06.30 sampai pukul 10.00 malam hari, semua anjing peliharaan harus diikat!).

Malam itu para petugas turun ke jalan. Mereka mendatangi setiap rumah satu per satu. Petugas terakhir menyelesaikan tugasnya menjelang tengah malam. Keesokan harinya Harian Java Bode memuat laporan pandangan mata yang menarik :

"Tadi malam, Batavia tampak tenang dan damai. Tak terdengar bunyi klakson taksi atau pun dentang-denting musik. Suara-suara yang biasanya terdengar setiap malam tak terdengar. Segala bebunyian di jalanan, yang biasanya mencirikan kehidupan kota besar, sama sekali tak terdengar.

Sebelum matahari terbenam, semua toko dan warung sudah menutup pintu. Lampu-lampu yang biasanya memeriahkan dan mempercantik jalan-jalan di kota dan etalase toko tidak menyala. Jalan-jalan pertokoan terkesan gelap dan agak menyedihkan, bahkan lebih sepi daripada suasana Minggu malam. Di rumah-rumah, para pembantu sejak sore mulai gelisah melirik jam dinding. Sebelum para petugas datang, mereka sudah harus di rumah masing-masing di kampung-kampung Batavia. Rupanya, bayangan kedatangan petugas sensus lebih menyeramkan daripada bayangan didatangi oleh sekompi serdadu Belanda!"

Setelah ia sendiri didata, si wartawan Java Bode cepat-cepat turun ke jalan. Malam itu, semua mobil dapat berbalapan di jalan. Tak ada tanda-tanda kehidupan di Batavia! Sungguh mengherankan! Tak seekor binatang pun tampak di jalan! Bahkan, anjing-anjing liar yang biasanya tampak mengendus-endus sampah Batavia tak ada!

Gedung-gedung bioskop yang selalu ramai tampak sesepi kuburan. Glodok (Jakarta Barat), dengan empat gedung bioskopnya, tampak seperti kota hantu yang ditinggalkan oleh penduduknya. Semua warung dan kios penjual makanan di dekat bioskop-bioskop itu tutup. Pangkalan taksi yang tak pernah sepi hampir tak dapat dikenali. Sang wartawan tiba-tiba menyadari bahwa para sopir taksi pun menunggu kedatangan petugas sensus.

(frieda.amran@yahoo.com, anggota asosiasi Anthropologi Indonesia)

Sunday, August 19, 2012

Disambut Tembakan Salvo di Vierkant

IP is over the quota

SAAT utusan asing sampai di pangkalan laut, mereka akan ditemui oleh syahbandar. Mereka disambut dengan tembakan salvo, lantas dibawa ke pabean. Di sini mereka ditemui oleh komite para pembesar atas nama Pemerintah Tinggi.

Setelah beramah tamah, para utusan diantar ke penginapan khusus duta besar di Vierkant (pabean). Ketika menuju tempat penguasa, mereka menaiki kereta kenegaraan. Surat yang mereka bawa diletakkan di atas nampan perak atau emas, ditutupi dengan kain satin kuning dan dinaungi payung kuning.

Kereta itu dihela oleh empat ekor kuda. Geraknya perlahan-lahan karena didahului oleh satu kompi tentara kavaleri dan satu kompi pasukan infanteri. Arak-arakan yang berjalan lambat itu melewati sepanjang jalan raya utama Batavia. Di belakang kereta, berjalan lambat arak-arakan budak Kompeni. Mereka membawa hadiah, diikuti panitia penyambutan yang berkereta.

Setiba di gerbang benteng, semua orang harus turun dari kereta. Pintu masuk sengaja dimuat kecil untuk faktor keamanan. Utusan dan para pengiring selanjutnya memasuki halaman istana dan melewati dua baris pasukan tombak. Di tangga di depan gedung pemerintah, dua penasihat sudah menanti. Terompet mulai dibunyikan dan gendang ditabuh. Disusul tembakan senapan dan salvo dari meriam. Uniknya, jumlah tembakan senapan dan meriam tergantung kedudukan utusan tersebut. Semakin banyak tembakan, berarti semakin tinggi kedudukan utusan.

Setelah itu utusan diperkenankan memasuki ruang pertemuan, untuk bertemu gubernur jendral. Setelah semua orang duduk, surat diserahkan dan hadiah dipajang di atas meja. Surat dibuka, lalu dibaca keras-keras oleh pemandu acara. Ini untuk surat yang ditulis dalam bahasa Melayu atau Portugis. Jika ditulis dalam bahasa lain, surat harus diserahkan kepada para ahli untuk dipahami isinya.

Sesuai kebiasaan, utusan ditawari sirih pinang dan seteguk anggur. Sementara pejabat Belanda mengisap pipa tanah liat. Setelah itu, utusan diantar keluar seperti saat mereka tiba. Saat ini sejumlah surat tentang hubungan diplomatik masih tersimpan rapi di museum-museum Belanda.

(Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya)

Di Dalam Pelukan Nyai

IP is over the quota

SERDADU dan pegawai rendahan VOC di Batavia seringkali tidak mampu menikahi seorang perempuan Eropa atau berdarah campuran Indo-Eropa. Seorang nyai, perempuan pribumi, kemudian menjadi "isteri" yang mengurus rumah tangga dan segala kebutuhan lelaki-lelaki Belanda itu.

Pada tahun 1830, pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk mendirikan dan mengembangkan angkatan bersenjata di Nusantara. Sejak saat itu, semakin banyak saja serdadu Belanda yang didatangkan ke nusantara. (lihat Reggie Baay. De Njai: Het Concubinaat in Nederlands-Indiƫ. Amsterdam: Athenaeum-Polak & Van Gennep. 2008).

Lelaki-lelaki itu menandatangani kontrak dinas selama enam tahun. Sebagian besar di antara lelaki Belanda itu tidak beristri. Walaupun perempuan Indo-Eropa cantik-cantik, serdadu-serdadu itu terlalu miskin untuk menikahi dengan mereka.

Akan tetapi, ketiadaan seorang istri tidak terlalu terasa karena di barak militer tempat serdadu-serdadu itu tinggal, budak-budak perempuan mengurus dan menyiapkan segala keperluan mereka. Dalam waktu singkat, salah seorang budak perempuan lantas diajak "berumah tangga." Budak perempuan yang berumah tangga dengan tuannya lazim disebut nyai.

Pada mulanya, nyai-nyai itulah yang dituduh sebagai biang keladi penyebaran penyakit siphilis ketika penyakit itu marak di ibukota Hindia Belanda. Salah besar. Rupanya penyakit itu dibawa dan disebarkan oleh serdadu-serdadu "sehat" yang baru datang dari daratan Eropa.

Sejak tahun 1639, semua lelaki Belanda, yang menikah dengan perempuan pribumi atau Indo-Eropa, dilarang kembali ke Negeri Belanda (dengan anak-istrinya). Karena itu, setelah masa dinas selama enam tahun, kebanyakan lelaki itu memutuskan untuk menetap di Hindia-Belanda. Anak-anak yang lahir dari sebuah perkawinan campuran memperoleh status sebagai orang Eropa, seperti Pappie-nya.

Orang kaya di Batavia dan tempat lain di Hindia-Belanda mengirimkan anak lelaki mereka untuk belajar di Negeri Belanda. Anak-anak perempuan tidak memperoleh kesempatan itu. Anak perempuan itu tidak dianggap perlu meneruskan pendidikannya.

Jodoh yang dianggap pantas biasanya adalah lelaki yang berpenghasilan baik. Sayangnya, lelaki yang berkantung tebal biasanya sudah tua. Orang tidak heran lagi melihat seorang perempuan bersanding dengan lelaki yang berusia 20-30 tahun lebih tua! Sayangnya (atau, untungnya?!) suami-suami yang tua itu biasanya lebih cepat meninggal dunia dibandingkan istrinya. Seringkali, sang istri adalah satu-satunya ahli waris yang ada. Nah, ramailah para jejaka mendekati dan merayu janda-janda muda Batavia yang kaya raya itu!

Sosok nyai yang memberi ketenangan lahir batin kepada lelaki-lelaki Belanda di Nusantara tersisih ketika semakin banyak perempuan Belanda datang setelah Terusan Suez dibuka pada tahun 1867.

(frieda.amran@yahoo.com, pendiri Wariss: Warisan Insan di Selatan Sumatera)

Nasi Uduk Hijau Rasa Pandan

Ever tried to eat green uduk? Know it feels? The dish usually plural is found in the morning and the evening, does have a white color typical of coconut milk.

But at the restaurant belonging to Harry's administrative zone on the road No. 126 KH Mochammad Mansyur AA, Five Bridges, West Jakarta, featuring savory rice dish with another nuance is not white but green. "The uduk (cuisine) restaurant is colored green. Because it uses natural dyes from the pandanus leaf green, "said Harry homeowner eat Uduk Pandan Green 126.

Coming home is simple. In front of stalls visible storefront where the dishes that will be served neat its colleagues, among them a chicken, squid, and tofu. In addition the roasting and frying pan can we find in the area. Part in Diners dine place provided an area of approximately 8 feet x 10 feet. In the room we will find 7 pieces neatly lined tables, each of which can accommodate up to 4 people, which means that restaurants can accommodate 28 people.

The city was also the news can't wait to feel the unique delicacy, Uduk green. For running mate need not be confused because it had been talking with the owner, then the peanut sauce, roasted chicken seasoning squid eggs, grilled, roasted tempeh and sayur asem immediately ordered. No glass of iced passion fruit fresh luma complement. No need to wait long dish arrived on the table.

The first green of the uduk. As has been mentioned, not the image of white that looks rather greenish color that are presented. Uduk (cuisine) are served in ceramic plates are white. Rice was formed using a small bowl. No forget additional chips presented on the outskirts of rice. On it there are sprinkles of fried onions Brown. Of color alone is very interesting.

The Aroma of the uduk green fragrance, wonderful distinctive aroma mixed with coconut scented accent typical screwpine. Not to mention the aroma of fried onion savoury makin melingkapi. Consolidation of scents are topnotch.

Soon I was doing the green. In terms of texture of cooked rice is still not clot with grain-grain which is not benyek. Usually such models will produce rice tends to be loud. But my terkaan is inversely, not hard but where tender and savory pulen dominating the tongue. Tasty!

Apparently the restaurant was really expertly manipulate the uduk. For instance, I am willing to prove it even if there are no side companion to enjoy it. But what power I have ordered some dishes that must be felt.

Grilled side dishes processed

Next let lauknya yours tested. First burn tempe. Often served with fried tempe, but here there is a refined fuel which became a favorite. For these two fruit servings are approximately 8 tempe centimeter square. From the look of tempe seems dibalur with herbs that are colored reddish yellow. Then try dipotes with the finger, the dish is very easy. Different if fried then the outside tempe will be crisp and a little fight. When chewed nutty taste enough to dominate. At the end of kecapan, the sweetness seems to be hiding waiting for their turn. Keempukan tempenya is indeed tremendous pamper your tongue.

Squid eggs that are then also Harry's recommendations. A squid pricked with a prick like sate, wood. Color squid does not appear to be clean in the dish. In addition there is a blackish shades of burnt offering, it looks like typical condiments used any reddish colored. So the bertentakel animals-yellow colored mambang. The texture is indeed a little clay typical cuttlefish. For the seasoning still surrounding the nutty taste sweet, though spicy in this dish is much more tame than the tempenya. But it feels really unique that makes is when molten egg in it touching the tongue. Mak nyess … steady.

Roasted peanut sauce seasoning chicken next. Still similar to other, this dish is orange-colored because it is encased in a thick peanut sauce condiment with traces of burnt charcoal smoky accent. When finger mencolek herbs, sweet spicy. Sweet wrap tasted impression more of this dish. His was not difficult because it dealt with blazing mature pas. When the meat was eaten any rujaknya condiments noticeably seep into. Friends that fit the green rice last champion.

Then with acid vegetable red orange lights up. Served in a bowl, vegetable stuffing they have. For example, gnetum gnemon, chayote, corn, fruit, and nut length meets the bowl. Then try tasting fresh kicks asamnya really perceptible, anyway the same none the less acidic. sakali Haven't finished a sour taste to break down the mouth, nutty taste any also launched their aggression. Indeed feels spiciness that flavors. It's no wonder that vegetable soup color orange-colored lights up because surely enough rich cabainya.

Nutty taste is indeed quite dominate my meals at that time. Lucky ice passion fruit into my tongue reliever tub on fire.

I am certainly not an excess of praise because the impression given visitor satisfaction will also hinted there dishes. One of them is Doni Saputra (39). Long-haired guy tied these neat new claims first came to it. However, he was satisfied to be presented dishes. "Despite steady banget Sauces simple tastes. Dicocol with aja, I know gorengnya enggak want to stop eating. Uduk (cuisine) pandannya is also awful. Bener-bener use pandan, "he said gave high appreciation.

After dining must turn pay it. Don't worry because the restaurants with the tag line "the price five feet five star quality" were to be virtually in the bag. friendly "The prices here range from Rp 3,000 to know until the most expensive and tempe Rp 50,000 for grilled shrimp. Uduk pandan sepiringnya Rp 5,000, "explained Harry. He returned for the price of a chicken House added $ 10,000 good fried or baked. While the price of Rp 12,500. passion fruit ice So eat green plus uduk chicken vegetable side dish tofu tempe acid with passion fruit ice still under Rp 50,000.

Harry confesses in a day the diner he manage with such a family can sell 120-150 plate uduk pandan. For every day there omzet can be pocketed $ 3,000,000.

Everyday home eating halal cuisine, as well as ensuring operating every day starting at 10: 00 until 22: 00. However, the limitations of the parking could be a problem at the time of the clock, such as lunch.

Harry also provides messaging services between for those of you who live in a home environment with its contact phone number (021) 634 8908 or 08128208999. "There is no minimum limit specified in the order. As long as we can still reach its territory, would have been served, "said Harry. (m11/City News)

Saturday, August 18, 2012

Mengembangkan Wilayah Jakarta

IP is over the quota

SAAT Perang Dunia II, Maret 1942, Jepang masuk ke Pulau Jawa dan menghentikan pembangunan Batavia. Walaupun, dalam rangka propaganda, tentara Dai Nippon mengganti nama Batavia menjadi Djakarta Toko Betsu Shi, serta menghancurkan patung JP Coen di Waterlooplein.

Untuk lebih mengukuhkan propagandanya, Jepang menempatkan seorang Wakil Wali Kota Djakarta Toko Betsu Shi, yakni Soewirjo. Sementara Wali Kota diambil dari orang Jepang. Jepang yang berkuasa tidak lama ini ternyata banyak membuat kerusakan.

Hampir semua bangunan indah dan hotel dijadikan barak tentara yang sama sekali tidak terawat. Sampai kemudian pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56

Satu bulan kemudian, tidak kurang dari 300.000 orang berkumpul di Lapangan Ikada (Taman Medan Merdeka). Hebatnya, massa sebanyak itu datang berkumpul berkat berita dari mulut ke mulut. Sebenarnya rapat direncanakan tanggal 17 September, tepat satu bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan.

Ada ancaman tentara Jepang dan Sekutu, rapat raksasa di Lapangan Ikada diundur menjadi 19 September. Setelah rapat raksasa di Lapangan Ikada, menurut sejarawan Uka Tjandrasasmita, rakyat Surabaya bergelora pada 10 November 1945, demikian juga perlawanan pada penjajah terus menyebar di seluruh negeri.

Belanda yang membonceng tentara Sekutu (NICA) tidak pernah mengakui proklamasi tersebut hingga Desember 1949. Oleh karena itu pecahlah Perang Kemerdekaan. Hanya saja, perang ini tidaklah berlangsung di Batavia. Soekarno, Hatta, dan beberapa pejabat tinggi lainnya dan keluarga pergi dari Batavia pada 4 Januari 1946.

Oleh sebab itu, pemerintah pendudukan kembali menata dan merencanakan sebuah pemekaran Batavia. Rencana pemekaran kota ini ke wilayah sebelah selatan lapangan Merdeka, kira-kira 8 kilometer. Wilayah itu sendiri sebelumnya telah disurvei dengan maksud untuk membuat lapangan terbang internasional yang baru untuk menggantikan Bandara Kemayoran (didirikan menjelang Perang Dunia II) yang ternyata menjadi penghalang pemekaran kota ke arah timur.

Wilayah yang dimaksud adalah Kebayoran seluas 730 hektar, yang dapat dihubungkan dengan jalan raya bagi kendaraan bermotor. Daerah yang diproyeksikan bagi perumahan itu bersinggungan tepinya dengan jalan Kereta Api Tanahabang-Serpong yang dapat mempermudah pengangkutan bahan-bahan bangunan.

Rencana pertama pembangunan kota itu diserahkan pada M Soesilo, seorang insinyur pada Centeral Planologisch Bureau (Biro Pusat Planologi). Sejak itu dikenal istilah Kota Satelit Kebayoran. Pada Februari 1949 rencana kota Kebayoran selesai. (aloysius suni dirgantoro)

Sumber: bappedajakarta.go.id

Raden Saleh, Penyumbang Museum Nasional

IP is over the quota

KOMPAS.com — Mungkin tidak banyak yang tahu kalau Raden Saleh banyak bergerak di bidang ilmiah. Ketika pada tahun 1851 di Delft (Belanda), berdiri KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde atau Institut Kerajaan untuk Linguistik dan Ilmu Bangsa-Bangsa), Raden Saleh menjadi anggota pertama dan anggota donor.

Tahun 1865, Raden Saleh mengajukan permohonan izin dan dukungan dari pemerintah kolonial untuk melakukan perjalanan budaya keliling Pulau Jawa. Menurutnya, perjalanan semacam ini bisa digunakan untuk mencari benda-benda arkeologi dan manuskrip yang masih dimiliki oleh keluarga-keluarga pribumi. Minat Raden Saleh demikian besar karena dia banyak bergaul dengan orang-orang Bataviaasch Genootschaap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW), cikal bakal Museum Nasional.

Beberapa bulan kemudian, Raden Saleh mulai melakukan pekerjaan ekskavasi untuk mencari fosil-fosil. Situs itu berlokasi di Banyunganti, Kabupaten Sentolo, Jawa Tengah. Raden Saleh mendapatkan sebuah tulang belakang sepanjang 18 kaki, lengkap dengan tulang-tulang rusuk. Sejumlah gigi dari binatang yang sama juga ditemukan. (Raden Saleh: Anak Belanda, Mooi Indie & Nasionalisme, 2009).

Pada lokasi ekskavasi kedua di Kalisono, sekitar 11 kilometer dari lokasi pertama, dia menemukan bagian kepala, sejumlah tulang rusuk, tiga gigi, dan siput laut. Di lokasi ketiga yang sulit, Raden Saleh menemukan dua tulang sendi. Di lokasi keempat, Gunung Plawangan, fosil yang ditemukan berupa dua persendian dan satu gigi. Semua fosil temuan Raden Saleh dikirim ke Batavia.

Raden Saleh juga membawa sejumlah besar koleksi arkeologi dari logam dan benda-benda etnografi. Benda-benda itu kemudian dipamerkan oleh Dewan BGKW. Karena sumbangannya dianggap luar biasa, maka Raden Saleh diangkat menjadi anggota kehormatan BGKW. Dia adalah orang pribumi pertama yang mendapat kehormatan itu. Raden Saleh menghadiahkan sebuah tombak antik, dua senjata, dan dua prasasti logam. Ternyata, Raden Saleh merupakan penyumbang terbesar Museum Nasional. Sayang, dia meninggal pada 23 April 1880 di Bogor.

(Djulianto Susantio, Pemerhati Sejarah dan Budaya)

Arkeolog Belanda yang Berjasa

IP is over the quota

SIAPA tak kenal PV van Stein Callenfels? Ia adalah ahli arkeologi Belanda yang sangat berjasa pada perkembangan dunia arkeologi di Indonesia. Namanya sebagai seorang orientalis dan ahli purbakala sangat terkenal di kalangan ilmuwan.

Konon, ia memulai kariernya sebagai pegawai kontrolir di daerah Banten, tapi karena sifatnya yang keras, hal itu sering membuat dirinya dalam keadaan sulit sehingga ia memutuskan untuk keluar dari dinas kontrolir lalu menekuni ilmu arkeologi.

Ternyata pilihannya tidak salah karena ia segera menjadi pakar arkeologi yang disegani para ilmuwan dalam dan luar negeri. Dengan sifat keras dan kepribadiannya yang bebas, banyak cerita menarik dari seorang PV van Stein Callenfels. Mau tahu beberapa di antaranya?

Salah satu cerita berkenaan dengan sifat dan kepribadian yang kuat serta prinsipnya sebagai ilmuwan yang tidak mau dibatasi dalam kebebasan berpikir dan berperilaku, dikisahkan oleh Dr Mr Ide Anak Agung Gde Agung dalam bukunya "Kenangan Masa Lampau Zaman Kolonial Hindia Belanda dan Zaman Pendudukan Jepang di Bali." Menurut cerita; Pada suatu waktu, ada kunjungan dari Gubernur Jenderal Filipina (yang masih menjadi jajahan Amerika) ke Bali.

Van Stein Callenfels yang waktu itu sedang mengadakan ekskavasi (penggalian) stupa-stupa di Tampaksiring, diperintahkan oleh Gubernur Hindia Belanda untuk memperlihatkan sesuatu yang ajaib sebagai hasil ekskavasinya dengan maksud agar kunjungan itu menjadi lebih menarik dan mengesankan. Maka, ia dengan patuh segera menyiapkan segala sesuatu.

Ketika tiba harinya, Gubernur Jenderal Filipina itu datang ke tempat ekskavasi dengan rombongan besar, termasuk Residen Bali dan Lombok untuk menyaksikan pembukaan kuburan kuno yang katanya berisi stupa purbakala. Tapi alangkah terkejutnya para pejabat itu ketika sampai ditempat, karena yang mereka lihat bukan stupa-stupa kuno hasil ekskavasi, melainkan stupa buatan yang dihiasi bendera Amerika Serikat!

Tentu saja perbuatan itu sengaja dilakukannya untuk mengejek Gubernur Jenderal dan menandaskan bahwa seorang ilmuwan tidak dapat diperintah seenaknya saja untuk mengkhianati profesinya, bahkan oleh seorang penguasa setinggi Gubernur Jendral Hindia Belanda sekalipun.

Cerita unik lainnya adalah kesukaan van Stein Callenfels akan babi guling. Cara melahap babi guling tersebut diselingi berbotol-botol bir yang tidak terhitung jumlahnya. Ia dapat menghabiskan seekor babi guling seorang diri! (YOI, 1993).

(Lily Utami, pemerhati sejarah dan budaya)

Friday, August 17, 2012

Naturalis Wallace di Hotel des Indes

IP is over the quota

NAMA Wallace, lengkapnya Alfred Russel Wallace, sudah akrab di telinga para ilmuwan. Dia adalah seorang naturalis (1823-1913) kelahiran Inggris yang senang bertualang. Minat utamanya adalah fauna dan flora.

Selama bertahun-tahun dia berkelana di Nusantara. Antara 1845-1846 dia menulis laporan perjalanannya Malay Archipelago. Tahun 2000 PT Remaja Rosdakarya menerjemahkannya dalam judul Menjelajah Nusantara.

Wallace bermukim di Jawa selama tiga setengah bulan, yakni pada 18 Juli-31 Oktober 1861. Suatu saat dia menumpang kapal api dari Surabaya ke Batavia. Dalam laporannya, Wallace mengatakan pusat perdagangan Batavia terletak dekat pelabuhan.

Sementara hotel dan permukiman berada dua mil dari pusat kota. Karena dulu masih sepi, maka satu-satunya alat transportasi dari hotel ke permukiman adalah kereta yang ditarik dua ekor kuda. Ongkos yang dikenakan sebesar lima gulden untuk setengah hari.

Pada abad ke-17 air di Batavia dikenal sangat jernih. Namun menurut catatan Wallace, kanal bersih di Batavia berubah penuh lumpur. Tentang Hotel des Indes, yang kini telah sirna dan di atasnya berdiri Pertokoan Duta Merlin, Wallace mengatakan sangat nyaman.

Tiap pengunjung, katanya, mempunyai ruang duduk dan tempat tidur yang terbuka ke arah beranda. Bahkan pengunjung bisa menikmati kopi di pagi hari dan minum teh di siang hari (Kepulauan Nusantara, 2009).

Katanya lebih lanjut, di tengah gedung terdapat ruang terbuka berbentuk segi empat. Sebuah bangunan berdiri di situ berisi sejumlah kamar mandi berdinding marmer yang siap pakai. Di sana juga ada hidangan table d'hote yang lezat pada pukul 10.00 dan makan malam pada pukul 18.00. "Harga yang dikenakan setiap hari untuk hidangan tersebut tidak terlalu mahal," demikian Wallace.

Wallace menilai suhu udara di Batavia sangat panas. Karena itu dia pergi ke Buitenzorg (Bogor) dengan kereta untuk menikmati kesejukan, sekaligus mengunjungi Kebun Raya yang kaya akan tumbuhan tropis. Meskipun kurang terawat seperti rumah kaca di Inggris, namun adanya tumbuhan khas Melayu, mengundang kekagumam Wallace.

(Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya)

Serdadu Hitam Hindia Belanda

IP is over the quota

PADA abad ke 19 zaman penjajahan Belanda, pemerintah kolonial kala itu pernah memboyong serdadu sewaan berkulit hitam dari Afrika untuk mengganyang rakyat yang memberontak terhadap kompeni.

Para serdadu Negro, atau yang dalam dunia militer Amerika juga populer dengan istilah buffalo soldier, ini pada umumnya adalah budak yang dibeli dan diharuskan teken kontrak sebagai serdadu.

Kurangnya serdadu Eropa dalam tentara kolonial Belanda pada abad ke 19 disebut-sebut sebagai pemicu utama kedatangan orang-orang Negro tersebut. Karenanya, pemerintah kolonial berinisiatif mengambil para calon serdadu hitam itu dari Pantai Guinea, Afrika Barat, yang notabene masih menjadi jajahan kompeni pada tahun 1831.

Pada tahun 1834, para serdadu hitam sudah digunakan kompeni untuk melakukan penindasan terhadap para pemberontak di daerah Lampung dan Jambi, dan berjalan dengan baik. Alhasil, seorang perwira tinggi Belanda pada tahun 1837 diutus untuk mencari kurang lebih 1.000 budak Negro lagi, dengan biaya 1.000 gulden
per kepala untuk diteken kontrak menjadi serdadu selama kurun waktu 4 tahun.

Tak lama dari perekrutan tersebut, setidaknya terkumpul 1.500 serdadu Negro di dalam tentara kolonial Belanda, yang dibagi dalam kompi-kompi di beberapa daerah di Indonesia. Selama mengabdi sebagai tentara sewaan, para serdadu Negro ini banyak berbaur dengan rakyat, bahkan sampai memiliki istri orang pribumi.

Hal ini semakin menegaskan bahwa Indonesia merupakan kancah perpaduan multi etnis, mulai dari pribumi, India, Tiong Hoa, Eropa, sampai Afrika. Tentara-tentara bayaran asal Afrika tersebut juga dikenal sangat buruk dalam hal disiplin, khususnya kemiliteran pada era itu.

Disebutkan, bahwa mereka bahkan lebih takut dengan istri mereka sendiri ketimbang komandan mereka di asrama.
Bahkan pada awal abad ke 20, populasi orang Negro tercatat masih cukup banyak, dan bahkan pernah memiliki kampung sendiri di daerah Purworejo, Jawa Tengah.

Anak-anak mereka, yang sebagian besar merupakan perpaduan antara Belanda dan Negro, disekolahkan di sekolah Belanda, sehingga anak-anak tersebut  mendapat julukan Belanda Hitam pada massa itu.

(Banu Adikara. wartawan Warta Kota)

Thursday, August 16, 2012

1 Ganting Beras Seharga 14 Sen

IP is over the quota
JANINE HELGA GROENEVELD WAROKKAReplika kapal layar Batavia di Batavia Stad, Kota Lelystad, Belanda Utara.

SELAIN pasar ikan, sejumlah pasar lain seperti pasar beras juga tak luput dari pengamatan Nicolaus de Graaff. Pasar beras atau pasar gandum terletak berseberangan dengan pasar ikan. Pasar ini dibangun dengan model yang sama dengan kedua pasar terdahulu.

Hanya saja di dalam pasar beras dan gandum tidak terdapat kios penjualan. Di salah satu sudut bangunan pasar itu terdapat tempat tinggal juru tera.

Dua kali setahun, orang ini menera setiap alat timbangannya di Balai Kota. Peneraan itu disaksikan oleh dua orang schepenen (anggota pemerintahan kota) yang masing-masing menerima 60 sen untuk setiap peneraan yang dilakukan. Takaran yang digunakan untuk menimbang dan menjual beras disebut ganting dan berisi sekitar 14 pon beras. Setiap ganting dijual seharga 60 sen.

Selain pasar daging, ikan, dan beras, terdapat juga pasar unggas. Pasar ini terletak di dekat jembatan menuju Kruiskerk. Di pasar ini terdapat banyak sekali sangkar anyaman berisi berbagai macam unggas dan hewan kecil lain. Seekor unggas besar dapat dibeli seharga 20 atau 30 sen.

Sebagian besar orang yang berdagang unggas adalah orang mardika atau Portugis Hitam. Di pasar ini banyak pula kios bambu tempat orang menjual ikan asin, bawang merah dan bawang putih, telur, wadah dan tempayan dari gerabah, dan keperluan dapur lainnya.

Sepanjang sungai sampai jembatan Nieuwe Brug orang berjualan sayuran. Mulai pukul 4 sore, pasar sayur dan buah-buahan ini dipenuhi orang, baik yang berbangsa China maupun orang berkulit hitam (tampaknya Nicolaus de Graaff menganggap kulit sawo matang orang pribumi sebagai kulit yang berwarna hitam!). Orang datang ke pasar ini untuk menjual dan membeli buah dan sayur. Ada pula yang sekadar untuk melihat-lihat.

Di sebelah barat alun-alun di depan Balai Kota terdapat bangunan yang terbuat dari kayu. Bangunan ini mempunyai lima pintu. Di dalamnya terdapat lima gang dengan toko-toko di kedua sisinya. Di dalam bangunan ini orang dapat membeli kain untuk pakaian dan keperluan lainnya.

Selain itu, ada pula toko-toko yang menjual pakaian jadi. Sebagian besar pedagang kain dan pakaian ini adalah orang China. Mereka menyewa toko-toko itu seharga 7,50 gulden setiap bulan kepada seorang pagter. Pagter ini bertugas membersihkan dan merawat toko-toko dan bangunan pasar. (frieda.amran@yahoo.com, anggota Asosiasi Antropologi Indonesia)

Learn to Overcome the bums and beggars in epoch of Japan

MARHABAN ya Ramadhan month, welcome to the holy month of Ramadan. This month is a month of waiting for by Muslims around the world because it is a month of forgiveness and grace.

Funnily enough, in Indonesia, aka the bums and beggars sprawl during Ramadaan there more and more. Do not believe? A database of information the Ministry of Social Affairs noted in the next 5 years this number has increased by as much as 17 percent sprawl!

The cause turned out to be not merely a victim of lack of employment, but also of the absence of wish trying factor and has no skills (source: rehsos. depsos .gov).

During the occupation of Japan, there is an attempt that was successful enough done to address the sprawl. What is that? The Government does the occupation of Japan was made a special agency to care for the homeless and beggars, named: "Home Maintenance" as Beggars, preached in Asia Raya newspaper; "Recently Bogor Shi (Korapraja Bogor) has completed the plan which is an attempt to treat the beggars, especially those who muck about and do not have a specific housing. This effort is about to be executed.

Given the large number of beggars is increasing the amount of increased bolder then the authorities will set up a barracks to take care of them or there are unhealthy yan fang. If they have been healed and healthy his body they would be employed as a worker "(Greater Asia, 18 January 1945).

Incredibly, the Housekeeper, maintenance was preparing the Beggar beggars who have converted and strong person to arrest his brothers who are still in the streets mosey, invited him to join the training skills.

Razia and coaching is done by local government is ineffective, because once out of nursing, they come back begging! Perhaps one reason is begging to be a profession! It is sad. It's good we are helping the Government to perform the movement "Anti Gave" to the street children, the homeless and beggars on the streets of the Protocol.

(Lily Utami, observer of history and culture)

Collection burned in French

JANINE HELGA GROENEVELD WAROKKAReplika sailing ship Batavia in Batavia Stad, Lelystad, Netherlands.

When we entered the old building of the National Museum, commonly referred to as Building a statue, some colored stone statue looks somewhat blackish. Color so it was not usual. Arguably this is the statue of abnormal, although signs of iconographical element is still evident with statues.

Compared to other stone statues, statues that ever trip to abnormal foreign tourists. At the time, the French Government hosted the 1931 Exposition Coloniale Internationale in the Bois de Vincennes. In the colonial exhibition, Museum van Het Bataviaasch Genootschaap van Kunsten there en Arts, which is now a National Museum, participated.

Many of the museum's collection were carried off. More collections comes from the Leiden Museum and private collections of Batavia. The main purpose of the colonial Exhibition was to reveal and celebrate Europe's cultural and political forces that might have touched the darkest corners up to and most backward on this earth.

Explicitly, most likely purpose is as a tool of propaganda exhibition each Government. There was even a party signals that his goal to provide awareness to the audience will force Nations colonist in dominating the natives. When it was a lot of media in France and the Netherlands, writing exhibit followed most great Hindia Netherlands as well as the most evil (Gouda, 2007).

Venues of the Netherlands East Indies, among others, featuring architecture and architecture of temple House, gadang judged very unusual. Moreover, the existence of performance ability by the dancers of Bali. Dear exhibition that tarnished due to a fire on June 8, 1931. A fire that lasted five hours, several venues and scorch the contents. Among the various collections there is metal, fabric, jewelry, and wood artifacts. Join the destroyed painting Raden Saleh's Buffalo and lion. The are a number of rather good fate statue stone.

The cause of the fire is still mysterious. There is a suspect because of the short circuit current. A handful of parties regard as sabotage because previous disasters had hit the Netherlands colonial Government in one of its possessions.

According to the conclusions of the Chief of police, character building exhibit caused a bridge that is flammable. While according to the technician, power lines in the Netherlands East Indies Pavilion that has been very good.

(Djulianto Susantio, observer of history and culture)

Wednesday, August 15, 2012

Menikmati Menu Serba Tahu

IP is over the quota

BAGI penyuka aneka hidangan berbahan utama tahu, Resto Tahu Iki Kuwi merupakan salah satu tempat favoritnya. Di sana ada dapat menemui belasan hidangan tahu yang lezat dan fresh sambil melihat langsung pembuatan tahu yang belum diolah.

"Saya jamin tahu yang digunakan selalu fresh dan tanpa bahan pengawet karena kami membuat tahu sendiri setiap hari. Biasanya tiap dua jam sekali kami membuatnya," ujar Jefta Ariadhi Hadiwidjaja (28) pemilik Resto Iki Kuwi di Jalan Kelapa Hibrida Raya Blok QG10 No 2 Kelapagading, Jakarta Utara.

Menuju ke restoran tersebut dapat ditempuh melalui Jalan Bulevar Raya, terus melaju hingga lampu merah Masjid Raya Kelapagading. Dari sana tetap melaju lurus hingga menemui Jalan Hibrida Raya di sisi kiri. Belok kiri masuk ke Hibrida Raya, Anda akan melewati sekolah Penabur, masih terus tapi perhatikan sebelah kiri karena Iki Kuwi akan tampak di sebelah kiri di antara jajaran rumah toko di sana.

Tempatnya tidak terlalu, besar kurang lebih 5 meter x 7 meter luasnya. Mungkin dapat menampung 24 pengunjung. Ruangannya bersih dan dilengkapi pendingin udara. Pada bagian dinding dihias kaligrafi tulisan China, juga poster Iki Kuwi plus visualisasi hidangan dalam foto yang menggugah selera.

Konsep open kitchen menjadi hal yang ditonjolkan restoran ini. "Di setiap restoran ada tempat pembuatan tahu yang bisa dilihat langsung oleh pengunjung. Ya open kithen pembuatan tahu-lah. Saya pikir masih sangat jarang restoran yang seperti ini," ujar Jefta yang memperoleh ilmu membuat tahu langsung dari Negeri Tirai Bambu.

Kemudian alasan memilih tahu sebagai konsep hidangan utama dalam restorannya, kata Jefta, ide tersebut berasal sang ayah. "Sebenarnya sih ini merupakan ide Papa saya. Mungkin beliau melihat restoran tahu fresh yang menjamin bebas bahan pengawet masih sedikit," tuturnya.

Terkait pemilihan nama "Iki Kuwi", Jefta mengaku mengambil nama dari bahasa Jawa yang berarti "ini itu". Maksudnya adalah dalam restorannya terdapat ini dan itu soal hidangan tahu,

Bumbu kacang campur petis

Warta kota pun semangat segera merasakan hidangan tahu di sana. Cukup variatif hidangan di daftar menu sempat membuat bingung. Ada tahu gejrot, tahu campur, tahu telur, lumpia kulit tahu (berisi daging ayam, udang, jamur), tahu kuah (kuah ayam atau tuna), tahu kipas, tahu lapis (tahu goreng yang dilapisi tepung), dan tahu goreng.

Namun setelah mendapat masukan maka tahu campur dan tahu kipas menjadi sajian yang akan saya rasakan kelezatannya. Setelah menunggu beberapa saat, hidangan pun tiba di hadapan saya.

Pertama tahu campur. Disajikan dalam mangkuk porselen berwarna putih. Hidangan ini berisi lontong, kubis, dan taoge yang direndam air hangat sebelumnya. Lalu topping-nya adalah gimbalan yang rupanya seperti bakwan, telur dadar, dan sedikit daun seledri untuk penyedap. Semua isian tersebut dimasukkan dalam rendaman bumbu kacang yang lebih encer dari bumbu kacang pada gado-gado, berwarna cokelat pekat.

Saatnya makan. Pertama-tama saya menyendok bumbu kacangnya. Bumbu kacangnya terasa manis dan legit, serta lembut di mulut. Terdapat sedikit aksen bumbu yang jarang saya temui. Sedikit menggelitik lidah. Tekstur kacangnya masih sedikit terasa, tidak kasar tapi juga tidak sangat halus karena bulirnya masih dapat dicecap lidah.

Tahunya begitu halus dan gurih di dalam, namun garing di luar. Sangat terasa kesegarannya. Belum lagi tambahan kubis dan taoge segar yang meramaikan kesegaran rasa. Jangan lupakan lontongnya yang padat menjadi sumber karbohidrat hidangan tersebut. Pokoknya top banget, terlebih bumbu kacang dan tahunya. Hidangan ini sontak menjadi jajaran tahu campur rekomendasi teratas dari saya.

Selanjutnya tahu kipas yang sedari tadi menunggu giliran untuk disantap. Hidangan ini berupa lima buah tahu isi yang berbentuk kubus berukuran lebih kurang 5 cm x 5 cm. Tak lupa disediakan sambal kecap dengan bawang merah dan cabai rawit untuk cocolannya. Semacam kudapan namun bakal mengenyangkan karana ukurannya yang besar.

Pada bagian luar tahu yang digoreng terasa garing karena menggunakan tepung. Kriuk...! Setelah bagian luar tahu digigit, mulai terasa isiannya yang tidak pelit. Terlihat ada wortel, kubis, taoge, dan orak-arik telur. Lalu, tak lama terasa sesuatu yang gempi dan gurih. Ternyata itu adalah udang yang jadi jagoan isi tahunya. Pastinya gurih tahu menjadi makin berwarna dengan kehadiran segarnya daging udang. Mantab dan kenyang...!

Kelezatan hidangan tahu di sana juga dirasakan Dwi Rendy Maulana (24). "Favorit saya tahu kipasnya. Isinya enggak pelit terus udangnya gede dan berasa banget. Tahunya juga gurih. Kebetulan saya suka gorengan, ini gorengan mantap," jelas pria kurus berkacamata yang juga baru pertama kali berkunjung ke sana.

Terkait dengan rasa penasaran akan rasa bumbu kacang pada hidangan awal, Warta Kota menanyakan apa rahasia di baliknya. Jefta mengatakan bahwa dirinya hanya menggunakan kacang biasa dengan kualitas terbaik. Namun ia juga menambahkan sedikit petis. Pasti itu yang membuat bumbu kacangnya berbeda dengan yang kita jumpai pada makanan ketoprak. Maklum saya pribadi amat sangat jarang lidahnya bersentuhan dengan bumbu yang satu itu.

Jual tahu yang belum diolah

Sesudah bersantap pasti timbul tanya mengenai harga. Untuk tahu campurnya yang legit dan menyegar tersebut seharga Rp 20.000. Sedangkan kudapan tahu kipas dipatok seharga Rp 20.909. Perlu dicatat bahwa itu semua belum termasuk pajak.

Jefta mengatakan, keseluruhan hidangan di Resto Iki Kuwi tak ada yang di atas Rp 25.000. "Kalau untuk kisaran harga baik minuman maupun makanan mulai dari Rp 3.181 sampai yang termahal Rp 22.727. Semua belum termasuk pajak ya," terang pria ramah yang mengawali bisnis kulinernya tersebut mulai tahun 2008.

Jika Anda tidak terlalu suka dengan tahu, jangan khawatir. Resto Iki Kuwi juga menyediakan berbagai menu masakan non-tahu seperti sate ayam, mi ayam, kentang goreng, dan roti panggang.

Selain menjual tahu matang, Jefta juga melayani pengunjung yang ingin membeli tahu yang belum diolah. "Awalnya sih enggak jual, tapi banyak juga ibu-ibu yang minta. Jadinya kita layani dan keterusan sampai sekarang. Soal harga sama dengan harga tahu biasa tapi biasanya dapat delapan, kalau mentah ditambah satu," kata pria yang menyelesaikan studi bahasa Mandarinnya di China, tersebut.

Dia mengaku dalam sehari rata-rata restorannya menghabiskan kedelai antara 10 hingga 20 kilogram. "Tapi itu yang di mal ya. Kalau yang di sini masih belum ada perkiraanya karena kami baru buka bulan April kemarin," kata sarjana ekonomi Universitas Atmajaya, ini.

Sampai saat ini Resto Iki Kuwi telah memiliki tiga buah restoran. Yang pertama ia dirikan di Mall Of Indonesia lantai 1 Blok-19, kedua di Mall Artha Gading lantai basement, dan yang ketiga adalah restoran di Jalan Kelapa Hibrida Raya.

Untuk operasional restorannya, Jefta menerapkan jam yang berbeda. "Kalau yang di mal kami mengikuti mall hour pukul 10.00-22.00. Sedangkan kalau yang di ruko ini beda, yakni pukul 08.00-18.00. Untuk jam ramai restorannya Jefta mengatakan saat makan siang dan malam menjadi waktu sibuk restorannya yang berada di mal. Tetapi untuk restorannya yang terbaru ia masih belum memiliki kepastian. Karena masih baru buka jadi masih susah ya memetakannya. Tapi biasanya ada aja yang datang saat jam pulang sekolah. Soalnya di sini dekat sekolah (Sekolah Penabur dan Jakarta Taipei School berlokasi satu kawasan)," papar Jefta.

Resto ini juga menyediakan layanan pesan antar dengan menghubungi (021)26176555, pilih menu, dan pesanan di antar ke rumah Anda. Namun hanya berlaku untuk kawasan Kelapagading saja. Selain itu Resto Iki Kuwi juga menyediakan kemudahan bertransaksi dengan menggunakan kartu kredit. (m11/warta kota)