Sunday, January 13, 2013

Jepretan dengan Gelang Karet

AppId is over the quota

AWAL tahun 1950-an rubrik Beginilah di Djakarta di Harian Rakjat memberitakan tentang para pemuda jalanan yang kecanduan berjudi (lihat Tjalie Robinson dalam Kind van Batavia. Amsterdam: Prometheus 2012).

Hampir setiap sudut jalan menunjukkan pemandangan yang sama: orang penjual lotere. Orang seperti itu memperoleh penghasilan dari 60 persen toeslag dari setiap karcis lotere demi amal yang dijualnya.

Selembar karcis lotere memberikan kemungkinan memenangkan mobil, mesin jahit, motor, mesin tik, radio, dan aneka perlengkapan dapur. Di seluruh Nusantara, daftar hadiah yang dapat dimenangkan itu bertambah dengan perjalanan ke Bali, Lombok, atau Singapura dan pesta tahun baru di hotel yang paling mahal (minuman keras tidak termasuk!).

Mengejar peruntungan dari selembar karcis lotere tidak menarik untuk anak-anak di Batavia. Permainan dengan karet gelang yang beraneka warna lebih mengasyikkan. 20 buah karet gelang dapat dibeli dengan uang 10 sen saja.

Anak-anak yang bermain membentuk lingkaran dan menentukan siapa yang mendapatkan giliran dengan mengulurkan tangan ke tengah-tengah lingkaran. Bersama-sama, sambil beramai-ramai mengucapkan: humpimpa-alaihum-gambreng masing-masing anak menyodorkan punggung atau telapak tangannya. Yang menang, mendapatkan giliran pertama bermain.

Sesuai kesepakatan, setiap anak meletakkan sejumlah karet gelang di atas punggung tangan si anak yang memenangkan giliran pertama tadi. Anak itu menggerakkan tangannya sehingga karet-karet gelang di punggung tangannya beterbangan. Dengan telunjuknya, ia harus mengait sebanyak mungkin sebelum karet gelang jatuh ke tanah. Karet gelang yang dapat dikaitnya menjadi miliknya.

Main ayam-ayaman adalah salah satu variasi permainan ini. Semua karet gelang lawan dijatuhkan di tanah. Dengan telunjuknya, anak yang mendapat giliran berusaha menjentik karet gelangnya ke atas yang lain. Bila berhasil boleh mengambil karet gelang lawannya itu. Disebut ayam-ayaman karena anak-anak itu sibuk mengorek-ngorek seperti ayam yang mematuk jagung di atas tanah.

Dalam main patok, karet-karet gelang itu digantungkan di kayu yang ditegakkan kira-kira 10 sentimeter di atas tanah. Anak yang mendapat giliran menjepret gelang-gelang karet itu dengan gelang karet miliknya sendiri. Yang berhasil dijatuhkan, menjadi miliknya sendiri. Permainan yang sama dengan gelang karet yang digantungkan di dinding disebut main dinding.

Ada pula permainan gelang karet dan kelereng yang disebut main oyok-oyokan (sayang tak ada deskripsi permainan ini). Sedangkan permainan tiup-tiupan gelang karet disangkutkan pada lidi pendek dan harus ditiup hingga terlepas dari lidi. Pada akhir permainan, barangkali nafas anak-anak itu tersengal-sengal namun mereka pulang membawa kekayaan berupa puluhan gelang karet!

(frieda.amran@yahoo.com, pegiat pelestarian warisan budaya)

Ramuan Koki China di Kota Batavia

AppId is over the quota

SEGALA sesuatu dilakukan di udara terbuka, di jalan-jalan kota Batavia: makan, minum, mencukur janggut dan memotong rambut, membersihkan lubang telinga (di bawah pohon asam), dan mengukur serta menjahit baju (lihat J v Maurik. Indrukken van een Totok. Amsterdam: v Hoeve. 1897).

Tukang-tukang kayu berbangsa China membuat lemari dari kayu jati yang mahal dan mebel lain dari kayu berbeda yang lebih murah. Pekerjaan apa saja yang dapat disebutkan dikerjakan oleh orang China. Mereka menjadi tukang besi; tukang potong dan penjual daging babi, sapi, ayam dan ikan; mereka membeli dan menjual lagi pakaian bekas dan mereka pula yang biasanya mengusahakan rumah-rumah gadai di Batavia.

Hampir semua orang di Batavia suatu waktu koerang doewit. Bila itu terjadi, tak jarang kalung, gelang dan cincin adalah yang pertama-tama direlakan untuk digadaikan. Biasanya tidak banyak orang yang berhasil membeli kembali perhiasan yang digadaikannya itu.

Orang China di Batavia memang luar biasa. Apa pun dikerjakannya untuk mendapatkan nafkah. Pun bila pekerjaan itu bukan bidang keahliannya! Bayangkan, mereka tidak hanya berdagang atau menjadi pekerja ahli dalam berbagai bidang (antara lain olah kayu, besi, tekstil, obat-obatan) saja. Mereka bahkan dipercaya untuk mengurus logistik militer Belanda dan keperluan pekerja rodi.

Di Pulau Bangka, seorang pedagang China yang diberi tanggungjawab mengurus keperluan makan dan minum kuli-kuli pertambangan timah. Di Batavia, kesejahteraan para tawanan di dalam penjara pun berada di tangan seorang pengelola berbangsa China. Sungguh beragam.

Orang China dikenal pandai meniru segala sesuatu yang biasanya diimpor dari Eropa, termasuk minuman anggur! Walaupun tidak ada anggur sebuah pun di dalam panci itu, warnanya sudah serupa dengan anggur merah dari Perancis. Barangkali rasanya serupa pula!

Namun, jempol Belanda paling sering diacungkan untuk makanan yang disiapkan dan dijajakan oleh orang China Batavia. Di Glodok, ada sebuah rumah makan terkenal yang menjual bakmi. Rumah makan itu sebetulnya sederhana saja, tetapi selalu ramai dengan pengunjung Eropa, pribumi, dan bangsa Asia lainnya. Inikah cikal-bakal restoran bakmi yang terkenal dengan nama salah satu jalan di daerah Glodok?

Makanan yang paling enak di ibukota itu dijual di jalan. Tempo dulu ada yang menjual ikan kecil yang digoreng kering untuk kudapan. Pedagang itu juga menjual lemper. Ada lagi pedagang lain yang membuat pejalan kaki meneteskan liur dengan bau wangi dari sup yang dijualnya.

Dua buah keranjang dari anyaman bambu berayun-ayun dari pikulan yang disandangnya di bahu. Senyum lebar segera berkembang bila ia dipanggil. Sup kimlo yang lezat sudah siap dinikmati dalam mangkuk berwarna dengan sendok dari porselen pula sebelum sang pembeli sempat mengucapkan: "sim salabim!"

(frieda.amran@yahoo.com, pegiat pelestarian warisan budaya)

Saturday, January 12, 2013

Ngabuburit Asyik di Kampung Pekojan (1)

AppId is over the quota

MAU tau cara asyik untuk ngabuburit? Coba deh sekali-kali menjelajah "Kota Tua" (daerah kota lama Jakarta). Lebih asik lagi kalau dilakukan beramai-ramai.

Seperti Komunitas Jelajah Budaya menyambangi kampung Arab Pekojan untuk mengetahui lebih banyak beberapa tinggalan Islam yang terdapat di sana, Minggu (5/8). Mau tau cerita serunya?

Kampung Pekojan terletak di Kelurahan Pekojan, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Nama Pekojan menurut Van den Berg berasal dari kata Khoja, istilah yang masa itu digunakan untuk menyebut penduduk keturunan India. Pada masa kolonial, pemerintahan Hindia Belanda menetapkan wilayah Pekojan sebagai perkampungan Arab.

Kala itu para imigran yang datang dari Hadramaut (Yaman Selatan) diwajibkan untuk tinggal lebih dulu di sini, setelah itu baru mereka dapat pergi ke berbagai kota dan daerah. Karena banyaknya orang Arab di Kampung Pekojan, maka banyak peninggalan Islam yang dapat dijumpai, seperti; Masjid Al-Anshor, Masjid Ar-Raudah, Masjid An-Nawier, dan Masjid Langgar Tinggi yang menjadi tujuan ngabuburit petang itu.

Berangkat dari Museum Bank Mandiri, kami berjalan kaki menyusuri jalan-jalan kampung menuju sasaran pertama Masjid Al-Anshor yang lokasinya tersembunyi di dalam gang-gang sempit, dan tampak terjepit di antara padatnya perumahan penduduk. Masjid Al-Anshor yang dibangun pada tahun 1648 M ini terlihat berusaha mempertahankan eksistensinya.

Selain terlihat kecil dan sederhana, mesjid ini tampak sedikit janggal karena adanya tempat berwudhu di dalam ruangan masjid akibat pelebaran yang dilakukan. Sayang sekali bagian asli yang tersisa hanya berupa 4 tiang penyangga masjid. Dari situ, kami melanjutkan perjalanan ke Masjid Ar-Raudah.

Sejarah Masjid Ar-Raudah berawal dari sebuah Madrasah Jamiatul Khair (Perkumpulan Kebaikan) yang didirikan pada tahun 1901. Mungkin itu sebabnya, bangunan tidak tampak seperti masjid tapi terlihat seperti rumah biasa. Namun setelah kita masuk ke dalamnya akan terlihat mimbar dan tempat berwudhu seperti yang terdapat pada masjid umumnya.

Uniknya kolam bekas tempat berwudhu pada masa lalu masih terpelihara meski sudah tidak digunakan lagi. Konon mata air di kolam ini tidak pernah kering walau pada musim kemarau. Di masjid ini, kami sempatkan untuk salat Ashar berjamaah. Setelah itu, kembali kami berjalan menuju Masjid An-Nawier.

(Lily Utami, pemerhati sejarah dan budaya)