Showing posts with label Kampung. Show all posts
Showing posts with label Kampung. Show all posts

Saturday, January 12, 2013

Ngabuburit Asyik di Kampung Pekojan (1)

AppId is over the quota

MAU tau cara asyik untuk ngabuburit? Coba deh sekali-kali menjelajah "Kota Tua" (daerah kota lama Jakarta). Lebih asik lagi kalau dilakukan beramai-ramai.

Seperti Komunitas Jelajah Budaya menyambangi kampung Arab Pekojan untuk mengetahui lebih banyak beberapa tinggalan Islam yang terdapat di sana, Minggu (5/8). Mau tau cerita serunya?

Kampung Pekojan terletak di Kelurahan Pekojan, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Nama Pekojan menurut Van den Berg berasal dari kata Khoja, istilah yang masa itu digunakan untuk menyebut penduduk keturunan India. Pada masa kolonial, pemerintahan Hindia Belanda menetapkan wilayah Pekojan sebagai perkampungan Arab.

Kala itu para imigran yang datang dari Hadramaut (Yaman Selatan) diwajibkan untuk tinggal lebih dulu di sini, setelah itu baru mereka dapat pergi ke berbagai kota dan daerah. Karena banyaknya orang Arab di Kampung Pekojan, maka banyak peninggalan Islam yang dapat dijumpai, seperti; Masjid Al-Anshor, Masjid Ar-Raudah, Masjid An-Nawier, dan Masjid Langgar Tinggi yang menjadi tujuan ngabuburit petang itu.

Berangkat dari Museum Bank Mandiri, kami berjalan kaki menyusuri jalan-jalan kampung menuju sasaran pertama Masjid Al-Anshor yang lokasinya tersembunyi di dalam gang-gang sempit, dan tampak terjepit di antara padatnya perumahan penduduk. Masjid Al-Anshor yang dibangun pada tahun 1648 M ini terlihat berusaha mempertahankan eksistensinya.

Selain terlihat kecil dan sederhana, mesjid ini tampak sedikit janggal karena adanya tempat berwudhu di dalam ruangan masjid akibat pelebaran yang dilakukan. Sayang sekali bagian asli yang tersisa hanya berupa 4 tiang penyangga masjid. Dari situ, kami melanjutkan perjalanan ke Masjid Ar-Raudah.

Sejarah Masjid Ar-Raudah berawal dari sebuah Madrasah Jamiatul Khair (Perkumpulan Kebaikan) yang didirikan pada tahun 1901. Mungkin itu sebabnya, bangunan tidak tampak seperti masjid tapi terlihat seperti rumah biasa. Namun setelah kita masuk ke dalamnya akan terlihat mimbar dan tempat berwudhu seperti yang terdapat pada masjid umumnya.

Uniknya kolam bekas tempat berwudhu pada masa lalu masih terpelihara meski sudah tidak digunakan lagi. Konon mata air di kolam ini tidak pernah kering walau pada musim kemarau. Di masjid ini, kami sempatkan untuk salat Ashar berjamaah. Setelah itu, kembali kami berjalan menuju Masjid An-Nawier.

(Lily Utami, pemerhati sejarah dan budaya)

Keliling Kampung Pekojan (Habis)

AppId is over the quota
Keliling Kampung Pekojan (Habis)KOMPAS IMAGES/RODERICK ADRIAN MOZES Warga menjalankan ibadah Shalat di Masjid An-Nawier, Pekojan, Jakarta Barat, Sabtu (4/12/2010). Masjid yang dibangun pada tahun 1760 yang memiliki 33 tiang penyangga dan menara setinggi 17 meter ini merupakan Masjid terbesar di Jakarta Barat.

BERBEDA dengan dua masjid sebelumnya, Masjid An-Nawier tidak 'bersembunyi' dan terletak di pinggir jalan yang cukup besar (Jalan Pekojan Raya). Inilah masjid terbesar yang terdapat di Kampung Pekojan yang mampu menampung jemaah lebih dari 1.000 orang.

Dibangun pada tahun 1760 M, masjid ini mempunyai beberapa keunikan, antara lain denahnya yang berbentuk L dengan jumlah tiang sebanyak 33 buah (melambangkan jumlah dzikir yang biasa dibaca umat Islam setelah selesai salat). Keunikan lainnya yaitu adanya menara di bagian luar yang berbentuk menyerupai mercu suar setinggi 17 meter.

Konon, pada masa perjuangan kemerdekaan, menara ini sering dijadikan tempat bersembunyi para pejuang dari kejaran tentara penjajah. Beruntung saat itu kami dizinkan untuk naik ke menara tersebut yang ternyata sangat sempit sehingga hanya bisa dinaiki satu persatu secara bergantian. Puas "menjelajah' masjid ini, kaki kami melangkah ke tujuan akhir, Masjid Langgar Tinggi.

Namun sebelumnya, kami sempatkan mampir ke Jembatan Kambing yang terletak agak di depan Masjid An-Nawier. Dinamakan demikian karena sebelum dibawa untuk disembelih di pejagalan (sekarang bernama Jalan Pejagalan), kambing-kambing harus melewati jembatan yang melintasi kali Angke ini terlebih dulu. Para pedagang di sini telah berdagang secara turun menurun selama hampir 200 tahun.

Lanjut dengan tujuan akhir, Masjid Langgar Tinggi. Begitu melihat bangunan masjid itu, langsung terlihat keunikannya, dan terjawab pertanyaan mengapa disebut "Langgar Tinggi?" Ternyata itu disebabkan bentuk masjid yang terdiri dari 2 tingkat.

Segala macam aktivitas keagamaan dan salat hanya dilakukan di lantai atas saja, sedangkan lantai bawah digunakan untuk pengurus masjid dan tempat berdagang minyak wangi yang telah ada sejak masjid ini dibangun.

Masjid yang dibangun pada tahun 1249 H atau 1829 M ini terletak tepat di pinggir kali Angke. Lantai atasnya yang menggunakan lantai kayu merupakan lantai asli dari sejak dibangunnya masjid tersebut, dan sampai saat ini masih terawat dengan baik.

Dengan terdengarnya azan maghrib, berakhirlah perjalanan menjelajah kampung Arab di Pekojan yang berarti berakhir pula acara ngabuburit yang mengesankan bersama Komunitas Jelajah Budaya.

Daripada ngabuburit cuma jalan-jalan ke mall, lebih baik menjelajah kota sendiri, supaya kita makin cinta dengan kebudayaan dan peninggalan-peninggalan bersejarah. Selamat menunaikan ibadah puasa.

(Lily Utami, pemerhati sejarah dan budaya)

Thursday, January 10, 2013

Asal-usul Nama Kampung Kwitang

AppId is over the quota

NAMA Kwitang sudah populer sejak lama. Ketika pada 1980-an pedagang buku bekas berjualan di kawasan ini, nama Kwitang kerap disebut-sebut. Konon nama Kwitang berasal dari Kwee Tang Kiam (sumber lain menyebut Kwik Tang Kiam), seorang pengembara Tiongkok yang datang ke Batavia pada abad ke-17.

Dia adalah pedagang obat sekaligus ahli bela diri kuntao (semacam silat). Karena usahanya berhasil, Kwee menjadi kaya raya. Hampir semua tanah yang berada di lingkungan tempat tinggalnya, merupakan miliknya. Maka orang-orang Betawi menyebutnya kampung si Kwitang. Pendapat berbeda terdapat dalam www.budaya-tionghoa.net. Dikatakan nama Kwitang berasal dari Guidang, yakni nama provinsi Guangdong dalam lafal Hokkian.

Kehebatan ilmu silat Kwee Tang Kiam diakui masyarakat saat itu. Dia mengajarkan jurus-jurus ampuh yang memadukan unsur tenaga, kekuatan fisik, dan kecepatan. Hal ini sangat berbeda dengan aliran silat Betawi yang lebih menonjolkan ilmu kebatinan. Akulturasi silat Betawi dengan kuntao menyebabkan Kwitang dikenal sebagai gudangnya jagoan pencak silat.

Dalam novel Nyai Dasima yang disusun dalam bahasa Melayu rendah (1896), misalnya, dikisahkan Dasima dibunuh oleh seorang jago dari Kwitang (Heuken, Tempat-tempat bersejarah di Jakarta, 1997). Perguruan silat Mustika Kwitang pernah disegani dan melahirkan atlet-atlet berbakat dalam beberapa kali ajang Pekan Olahraga Nasional (PON). Sayang kini perguruan tersebut kian terpuruk bahkan nyaris punah.

Tanah milik Kwee pun berkurang sedikit demi sedikit karena ulah anaknya yang gemar berjudi. Tanah itu dijual kepada orang-orang keturunan Arab yang banyak bermukim di sana. Komunitas Arab Betawi ini kemudian mendirikan masjid Kwitang yang diresmikan oleh Presiden Soekarno pada 1963. Masjid ini menjadi besar karena kepemimpinan Habib Kwitang. Saat ini berbagai aktivitas keagamaan masih diselenggarakan oleh majelis taklim Kwitang.

Satu abad lalu, kampung ini masih dilalui getek-getek dari bambu yang melintas di Sungai Ciliwung. Di sungai ini para warga melakukan hajat, seperti mencuci, mandi, berwudhu, dan buang air besar. Kala itu letak rumah-rumah lebih tinggi dari sungai, sehingga bila Ciliwung meluap tidak sampai menimbulkan banjir.

(Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya)