Sunday, January 13, 2013

Ramuan Koki China di Kota Batavia

AppId is over the quota

SEGALA sesuatu dilakukan di udara terbuka, di jalan-jalan kota Batavia: makan, minum, mencukur janggut dan memotong rambut, membersihkan lubang telinga (di bawah pohon asam), dan mengukur serta menjahit baju (lihat J v Maurik. Indrukken van een Totok. Amsterdam: v Hoeve. 1897).

Tukang-tukang kayu berbangsa China membuat lemari dari kayu jati yang mahal dan mebel lain dari kayu berbeda yang lebih murah. Pekerjaan apa saja yang dapat disebutkan dikerjakan oleh orang China. Mereka menjadi tukang besi; tukang potong dan penjual daging babi, sapi, ayam dan ikan; mereka membeli dan menjual lagi pakaian bekas dan mereka pula yang biasanya mengusahakan rumah-rumah gadai di Batavia.

Hampir semua orang di Batavia suatu waktu koerang doewit. Bila itu terjadi, tak jarang kalung, gelang dan cincin adalah yang pertama-tama direlakan untuk digadaikan. Biasanya tidak banyak orang yang berhasil membeli kembali perhiasan yang digadaikannya itu.

Orang China di Batavia memang luar biasa. Apa pun dikerjakannya untuk mendapatkan nafkah. Pun bila pekerjaan itu bukan bidang keahliannya! Bayangkan, mereka tidak hanya berdagang atau menjadi pekerja ahli dalam berbagai bidang (antara lain olah kayu, besi, tekstil, obat-obatan) saja. Mereka bahkan dipercaya untuk mengurus logistik militer Belanda dan keperluan pekerja rodi.

Di Pulau Bangka, seorang pedagang China yang diberi tanggungjawab mengurus keperluan makan dan minum kuli-kuli pertambangan timah. Di Batavia, kesejahteraan para tawanan di dalam penjara pun berada di tangan seorang pengelola berbangsa China. Sungguh beragam.

Orang China dikenal pandai meniru segala sesuatu yang biasanya diimpor dari Eropa, termasuk minuman anggur! Walaupun tidak ada anggur sebuah pun di dalam panci itu, warnanya sudah serupa dengan anggur merah dari Perancis. Barangkali rasanya serupa pula!

Namun, jempol Belanda paling sering diacungkan untuk makanan yang disiapkan dan dijajakan oleh orang China Batavia. Di Glodok, ada sebuah rumah makan terkenal yang menjual bakmi. Rumah makan itu sebetulnya sederhana saja, tetapi selalu ramai dengan pengunjung Eropa, pribumi, dan bangsa Asia lainnya. Inikah cikal-bakal restoran bakmi yang terkenal dengan nama salah satu jalan di daerah Glodok?

Makanan yang paling enak di ibukota itu dijual di jalan. Tempo dulu ada yang menjual ikan kecil yang digoreng kering untuk kudapan. Pedagang itu juga menjual lemper. Ada lagi pedagang lain yang membuat pejalan kaki meneteskan liur dengan bau wangi dari sup yang dijualnya.

Dua buah keranjang dari anyaman bambu berayun-ayun dari pikulan yang disandangnya di bahu. Senyum lebar segera berkembang bila ia dipanggil. Sup kimlo yang lezat sudah siap dinikmati dalam mangkuk berwarna dengan sendok dari porselen pula sebelum sang pembeli sempat mengucapkan: "sim salabim!"

(frieda.amran@yahoo.com, pegiat pelestarian warisan budaya)

No comments:

Post a Comment