Sunday, January 13, 2013

Jepretan dengan Gelang Karet

AppId is over the quota

AWAL tahun 1950-an rubrik Beginilah di Djakarta di Harian Rakjat memberitakan tentang para pemuda jalanan yang kecanduan berjudi (lihat Tjalie Robinson dalam Kind van Batavia. Amsterdam: Prometheus 2012).

Hampir setiap sudut jalan menunjukkan pemandangan yang sama: orang penjual lotere. Orang seperti itu memperoleh penghasilan dari 60 persen toeslag dari setiap karcis lotere demi amal yang dijualnya.

Selembar karcis lotere memberikan kemungkinan memenangkan mobil, mesin jahit, motor, mesin tik, radio, dan aneka perlengkapan dapur. Di seluruh Nusantara, daftar hadiah yang dapat dimenangkan itu bertambah dengan perjalanan ke Bali, Lombok, atau Singapura dan pesta tahun baru di hotel yang paling mahal (minuman keras tidak termasuk!).

Mengejar peruntungan dari selembar karcis lotere tidak menarik untuk anak-anak di Batavia. Permainan dengan karet gelang yang beraneka warna lebih mengasyikkan. 20 buah karet gelang dapat dibeli dengan uang 10 sen saja.

Anak-anak yang bermain membentuk lingkaran dan menentukan siapa yang mendapatkan giliran dengan mengulurkan tangan ke tengah-tengah lingkaran. Bersama-sama, sambil beramai-ramai mengucapkan: humpimpa-alaihum-gambreng masing-masing anak menyodorkan punggung atau telapak tangannya. Yang menang, mendapatkan giliran pertama bermain.

Sesuai kesepakatan, setiap anak meletakkan sejumlah karet gelang di atas punggung tangan si anak yang memenangkan giliran pertama tadi. Anak itu menggerakkan tangannya sehingga karet-karet gelang di punggung tangannya beterbangan. Dengan telunjuknya, ia harus mengait sebanyak mungkin sebelum karet gelang jatuh ke tanah. Karet gelang yang dapat dikaitnya menjadi miliknya.

Main ayam-ayaman adalah salah satu variasi permainan ini. Semua karet gelang lawan dijatuhkan di tanah. Dengan telunjuknya, anak yang mendapat giliran berusaha menjentik karet gelangnya ke atas yang lain. Bila berhasil boleh mengambil karet gelang lawannya itu. Disebut ayam-ayaman karena anak-anak itu sibuk mengorek-ngorek seperti ayam yang mematuk jagung di atas tanah.

Dalam main patok, karet-karet gelang itu digantungkan di kayu yang ditegakkan kira-kira 10 sentimeter di atas tanah. Anak yang mendapat giliran menjepret gelang-gelang karet itu dengan gelang karet miliknya sendiri. Yang berhasil dijatuhkan, menjadi miliknya sendiri. Permainan yang sama dengan gelang karet yang digantungkan di dinding disebut main dinding.

Ada pula permainan gelang karet dan kelereng yang disebut main oyok-oyokan (sayang tak ada deskripsi permainan ini). Sedangkan permainan tiup-tiupan gelang karet disangkutkan pada lidi pendek dan harus ditiup hingga terlepas dari lidi. Pada akhir permainan, barangkali nafas anak-anak itu tersengal-sengal namun mereka pulang membawa kekayaan berupa puluhan gelang karet!

(frieda.amran@yahoo.com, pegiat pelestarian warisan budaya)

Ramuan Koki China di Kota Batavia

AppId is over the quota

SEGALA sesuatu dilakukan di udara terbuka, di jalan-jalan kota Batavia: makan, minum, mencukur janggut dan memotong rambut, membersihkan lubang telinga (di bawah pohon asam), dan mengukur serta menjahit baju (lihat J v Maurik. Indrukken van een Totok. Amsterdam: v Hoeve. 1897).

Tukang-tukang kayu berbangsa China membuat lemari dari kayu jati yang mahal dan mebel lain dari kayu berbeda yang lebih murah. Pekerjaan apa saja yang dapat disebutkan dikerjakan oleh orang China. Mereka menjadi tukang besi; tukang potong dan penjual daging babi, sapi, ayam dan ikan; mereka membeli dan menjual lagi pakaian bekas dan mereka pula yang biasanya mengusahakan rumah-rumah gadai di Batavia.

Hampir semua orang di Batavia suatu waktu koerang doewit. Bila itu terjadi, tak jarang kalung, gelang dan cincin adalah yang pertama-tama direlakan untuk digadaikan. Biasanya tidak banyak orang yang berhasil membeli kembali perhiasan yang digadaikannya itu.

Orang China di Batavia memang luar biasa. Apa pun dikerjakannya untuk mendapatkan nafkah. Pun bila pekerjaan itu bukan bidang keahliannya! Bayangkan, mereka tidak hanya berdagang atau menjadi pekerja ahli dalam berbagai bidang (antara lain olah kayu, besi, tekstil, obat-obatan) saja. Mereka bahkan dipercaya untuk mengurus logistik militer Belanda dan keperluan pekerja rodi.

Di Pulau Bangka, seorang pedagang China yang diberi tanggungjawab mengurus keperluan makan dan minum kuli-kuli pertambangan timah. Di Batavia, kesejahteraan para tawanan di dalam penjara pun berada di tangan seorang pengelola berbangsa China. Sungguh beragam.

Orang China dikenal pandai meniru segala sesuatu yang biasanya diimpor dari Eropa, termasuk minuman anggur! Walaupun tidak ada anggur sebuah pun di dalam panci itu, warnanya sudah serupa dengan anggur merah dari Perancis. Barangkali rasanya serupa pula!

Namun, jempol Belanda paling sering diacungkan untuk makanan yang disiapkan dan dijajakan oleh orang China Batavia. Di Glodok, ada sebuah rumah makan terkenal yang menjual bakmi. Rumah makan itu sebetulnya sederhana saja, tetapi selalu ramai dengan pengunjung Eropa, pribumi, dan bangsa Asia lainnya. Inikah cikal-bakal restoran bakmi yang terkenal dengan nama salah satu jalan di daerah Glodok?

Makanan yang paling enak di ibukota itu dijual di jalan. Tempo dulu ada yang menjual ikan kecil yang digoreng kering untuk kudapan. Pedagang itu juga menjual lemper. Ada lagi pedagang lain yang membuat pejalan kaki meneteskan liur dengan bau wangi dari sup yang dijualnya.

Dua buah keranjang dari anyaman bambu berayun-ayun dari pikulan yang disandangnya di bahu. Senyum lebar segera berkembang bila ia dipanggil. Sup kimlo yang lezat sudah siap dinikmati dalam mangkuk berwarna dengan sendok dari porselen pula sebelum sang pembeli sempat mengucapkan: "sim salabim!"

(frieda.amran@yahoo.com, pegiat pelestarian warisan budaya)

Saturday, January 12, 2013

Ngabuburit Asyik di Kampung Pekojan (1)

AppId is over the quota

MAU tau cara asyik untuk ngabuburit? Coba deh sekali-kali menjelajah "Kota Tua" (daerah kota lama Jakarta). Lebih asik lagi kalau dilakukan beramai-ramai.

Seperti Komunitas Jelajah Budaya menyambangi kampung Arab Pekojan untuk mengetahui lebih banyak beberapa tinggalan Islam yang terdapat di sana, Minggu (5/8). Mau tau cerita serunya?

Kampung Pekojan terletak di Kelurahan Pekojan, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Nama Pekojan menurut Van den Berg berasal dari kata Khoja, istilah yang masa itu digunakan untuk menyebut penduduk keturunan India. Pada masa kolonial, pemerintahan Hindia Belanda menetapkan wilayah Pekojan sebagai perkampungan Arab.

Kala itu para imigran yang datang dari Hadramaut (Yaman Selatan) diwajibkan untuk tinggal lebih dulu di sini, setelah itu baru mereka dapat pergi ke berbagai kota dan daerah. Karena banyaknya orang Arab di Kampung Pekojan, maka banyak peninggalan Islam yang dapat dijumpai, seperti; Masjid Al-Anshor, Masjid Ar-Raudah, Masjid An-Nawier, dan Masjid Langgar Tinggi yang menjadi tujuan ngabuburit petang itu.

Berangkat dari Museum Bank Mandiri, kami berjalan kaki menyusuri jalan-jalan kampung menuju sasaran pertama Masjid Al-Anshor yang lokasinya tersembunyi di dalam gang-gang sempit, dan tampak terjepit di antara padatnya perumahan penduduk. Masjid Al-Anshor yang dibangun pada tahun 1648 M ini terlihat berusaha mempertahankan eksistensinya.

Selain terlihat kecil dan sederhana, mesjid ini tampak sedikit janggal karena adanya tempat berwudhu di dalam ruangan masjid akibat pelebaran yang dilakukan. Sayang sekali bagian asli yang tersisa hanya berupa 4 tiang penyangga masjid. Dari situ, kami melanjutkan perjalanan ke Masjid Ar-Raudah.

Sejarah Masjid Ar-Raudah berawal dari sebuah Madrasah Jamiatul Khair (Perkumpulan Kebaikan) yang didirikan pada tahun 1901. Mungkin itu sebabnya, bangunan tidak tampak seperti masjid tapi terlihat seperti rumah biasa. Namun setelah kita masuk ke dalamnya akan terlihat mimbar dan tempat berwudhu seperti yang terdapat pada masjid umumnya.

Uniknya kolam bekas tempat berwudhu pada masa lalu masih terpelihara meski sudah tidak digunakan lagi. Konon mata air di kolam ini tidak pernah kering walau pada musim kemarau. Di masjid ini, kami sempatkan untuk salat Ashar berjamaah. Setelah itu, kembali kami berjalan menuju Masjid An-Nawier.

(Lily Utami, pemerhati sejarah dan budaya)

Keliling Kampung Pekojan (Habis)

AppId is over the quota
Keliling Kampung Pekojan (Habis)KOMPAS IMAGES/RODERICK ADRIAN MOZES Warga menjalankan ibadah Shalat di Masjid An-Nawier, Pekojan, Jakarta Barat, Sabtu (4/12/2010). Masjid yang dibangun pada tahun 1760 yang memiliki 33 tiang penyangga dan menara setinggi 17 meter ini merupakan Masjid terbesar di Jakarta Barat.

BERBEDA dengan dua masjid sebelumnya, Masjid An-Nawier tidak 'bersembunyi' dan terletak di pinggir jalan yang cukup besar (Jalan Pekojan Raya). Inilah masjid terbesar yang terdapat di Kampung Pekojan yang mampu menampung jemaah lebih dari 1.000 orang.

Dibangun pada tahun 1760 M, masjid ini mempunyai beberapa keunikan, antara lain denahnya yang berbentuk L dengan jumlah tiang sebanyak 33 buah (melambangkan jumlah dzikir yang biasa dibaca umat Islam setelah selesai salat). Keunikan lainnya yaitu adanya menara di bagian luar yang berbentuk menyerupai mercu suar setinggi 17 meter.

Konon, pada masa perjuangan kemerdekaan, menara ini sering dijadikan tempat bersembunyi para pejuang dari kejaran tentara penjajah. Beruntung saat itu kami dizinkan untuk naik ke menara tersebut yang ternyata sangat sempit sehingga hanya bisa dinaiki satu persatu secara bergantian. Puas "menjelajah' masjid ini, kaki kami melangkah ke tujuan akhir, Masjid Langgar Tinggi.

Namun sebelumnya, kami sempatkan mampir ke Jembatan Kambing yang terletak agak di depan Masjid An-Nawier. Dinamakan demikian karena sebelum dibawa untuk disembelih di pejagalan (sekarang bernama Jalan Pejagalan), kambing-kambing harus melewati jembatan yang melintasi kali Angke ini terlebih dulu. Para pedagang di sini telah berdagang secara turun menurun selama hampir 200 tahun.

Lanjut dengan tujuan akhir, Masjid Langgar Tinggi. Begitu melihat bangunan masjid itu, langsung terlihat keunikannya, dan terjawab pertanyaan mengapa disebut "Langgar Tinggi?" Ternyata itu disebabkan bentuk masjid yang terdiri dari 2 tingkat.

Segala macam aktivitas keagamaan dan salat hanya dilakukan di lantai atas saja, sedangkan lantai bawah digunakan untuk pengurus masjid dan tempat berdagang minyak wangi yang telah ada sejak masjid ini dibangun.

Masjid yang dibangun pada tahun 1249 H atau 1829 M ini terletak tepat di pinggir kali Angke. Lantai atasnya yang menggunakan lantai kayu merupakan lantai asli dari sejak dibangunnya masjid tersebut, dan sampai saat ini masih terawat dengan baik.

Dengan terdengarnya azan maghrib, berakhirlah perjalanan menjelajah kampung Arab di Pekojan yang berarti berakhir pula acara ngabuburit yang mengesankan bersama Komunitas Jelajah Budaya.

Daripada ngabuburit cuma jalan-jalan ke mall, lebih baik menjelajah kota sendiri, supaya kita makin cinta dengan kebudayaan dan peninggalan-peninggalan bersejarah. Selamat menunaikan ibadah puasa.

(Lily Utami, pemerhati sejarah dan budaya)

Lindeteves, Pabrik Baja Masa VOC

AppId is over the quota

NAMA Lindeteves di Jakarta Kota sudah populer sejak lama. Adanya Pasar Lindeteves, yang kemudian dipermodern menjadi Pusat Perdagangan Lindeteves, jelas menunjukkan peranan pasar ini.

Apalagi Lindeteves terletak di pusat perdagangan Glodok. Sejak puluhan tahun lalu Lindeteves dikenal sebagai pusat perkulakan alat-alat berat. Konsumennya dari seluruh Indonesia.

Sejarah Lindeteves sebagai pusat penjualan alat-alat berat tidak terlepas dari keberadaan NV Lindeteves Stokvis & Fa, sebagai salah satu unit usaha pabrikan kontruksi baja terkemuka di masa pendudukan VOC. Awalnya Lindeteves berkantor pusat di Semarang.

Perusahaan ini memiliki sejumlah kantor cabang di kota-kota besar di Jawa dan sejumlah anak perusahaan, seperti NV Rotterdam Internatio, NV Borsumij Maatschappij, NV Geo Wehry, dan NV Jacobson Van den Berg. Salah satu kantor Lindeteves yang cukup terkenal berada di Surabaya. Gedungnya dirancang khusus oleh Biro Arsitek Hulswit, Fermont & Ed Cuypers dari Batavia dan mulai dibangun pada sekitar 1910.

Entah di mana kantor pusat perusahaan ini. Yang jelas, ketika itu mereka menguasai jaringan bisnis perdagangan, produksi, jasa, industri, dan distribusi di sejumlah negara. Bisnisnya di bidang konstruksi baja membuat pihak Jepang (1942-1945) menjadikan gedung di Surabaya sebagai bengkel perbaikan peralatan perang.

Tahun 1970-an di Jakarta pernah berdiri PT Borsumij Wehry Indonesia. PT Borsumij Wehry Indonesia memiliki cabang di beberapa kota. Sayang, data sejarah tentang Lindeteves masih minim.

Sedikit info diperoleh dari buku antik berjudul 12e Algemene Catalogus 1949 yang diterbitkan NV Lindeteves. Buku ini berisi katalogus tentang pipa, traktor, alat berat, alat pertukangan, dan lain-lain. Jumlah keseluruhan buku ini mencapai 305 halaman.

Kalau kantor di Jakarta sudah berganti wajah, kantor di Surabaya masih lestari. Saat ini gedung tersebut masih dipakai sebagai kantor Bank Mandiri. Di Jakarta hanya nama Lindeteves yang dikenal orang.

(Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya)

Friday, January 11, 2013

Harimau Santai di Lantai Kandang

AppId is over the quota
Harimau Santai di Lantai KandangKOMPAS.com/Achmad FaizalHarimau Sumatera yang dikandangkan bersama di Penangkaran TSI Bogor.

DALAM acara hari itu, seekor kerbau akan diadu melawan dua ekor harimau (lihat Maurits ver Huell. Herinnering aan een Reis naar Oost-Indiƫ: 1815-1819. Rotterdam: Werken van de Linschoten Vereniging. 1835). Acara istimewa itu diselenggarakan sesuai dengan tata cara yang ketat.

Diiringi suara meriam kehormatan yang berdentum-dentum, gubernur jenderal meninggalkan rumah residen menuju ke alun-alun. Pada saat yang hampir bersamaan, diiringi oleh pawai kebesarannya dan suara terompet yang nyaring, Sang Sultan tiba di alun-alun untuk menyambut tamunya.

Setelah saling menyalami dan menyapa dengan teramat sopan, sang sultan dan sang gubernur jenderal duduk di atas kursi-kursi berukir yang sudah disediakan di atas panggung. Seorang Bupati yang tampak berwibawa mendekat.

Beberapa orang pengiring mengikuti langkah-langkahnya dengan muka-muka serius. Mereka duduk bersila di depan sang sultan. Setelah berdehem beberapa kali untuk membersihkan kerongkongannya, bupati itu mulai melaporkan keadaan penduduk di daerah kekuasaannya.

Ketika sang sultan mengangguk puas, bupati itu dengan hormat menyampaikan bahwa acara adu kerbau melawan harimau sudah dapat dimulai. Sang sultan pun mengangguk lagi.

Tak jauh dari tempat duduk orang-orang penting itu tampak sebuah kandang besar yang dibangun. Keempat dinding kandang itu terbuat dari bambu yang sengaja dianyam jarang-jarang supaya kerbau besar yang dikurung di dalamnya tampak dengan jelas. Kerbau itu mendengus dan berputar-putar di dalam kandangnya.

Penduduk yang sudah berkumpul ramai di sekitar alun-alun mulai berbisik dan menunjuk-nunjuk ke suatu arah. Suara mereka berdengung seperti lebah yang gusar. Beberapa lelaki memasuki arena alun-alun. Mereka mengusung sebuah kandang besar di atas bahu mereka.

Di dalamnya seekor harimau mondar-mandir sambil mengaum keras. Keempat lelaki itu berhenti dan mendekatkan kandang di usungan mereka ke dekat kandang tempat si kerbau masih mengunyah rumputnya dengan tenang.

Pintu-pintu kedua kandang itu ditempelkan satu sama lain. Harimau itu melompat lincah ke dalam kandang itu tak ubahnya seekor kucing yang jinak. Mencium bahaya yang mengancamnya, sang kerbau segera memasang ancang-ancang. Ia menundukkan kepalanya dan siap menanduk musuhnya dengan tanduknya yang tajam.

Semua orang menahan nafas. Akan tetapi, nafas itu secara massal segera terhembus lagi keluar hidung karena sang harimau —yang sungguh tampak ganas— rupanya tidak berminat mencari perkara. Binatang buas itu bukannya menyerang kerbau di hadapannya. Ia malahan menggeliat nikmat, lalu menjatuhkan tubuhnya di lantai kandang dengan santai!

(frieda.amran@yahoo.com, pegiat pelestarian warisan budaya)

Tinju Hiburan Umum di Batavia

AppId is over the quota
Tinju Hiburan Umum di Batavia Pertarungan Joe Frazier-Mohammad Ali, 1971.

DI samping lari, tinju merupakan cabang olahraga tertua di dunia. Saling memukul sudah dikenal sejak lama. Ketahanan fisik ini sangat dibutuhkan untuk mempertahankan negara dari serangan musuh.

Semula fungsi utamanya memang untuk membela diri. Pada abad ke-17 olahraga saling memukul mulai dipertandingkan di Eropa. Tinju yang paling awal bercampur baur dengan gulat.

Setelah berlangsungnya Olimpiade Athena pada 1896, tinju dan gulat mulai terpisah menjadi cabang olahraga sendiri. Di Nusantara tinju dipopulerkan oleh tentara Hindia Belanda KNIL. Beberapa tahun lalu sisa-sisa ring tinju masih ada di Jasdam V Jaya (Jakarta) dan Jasdam VII Diponegoro (Semarang). Setelah munculnya petinju legendaris kelas berat AS Jack Dempsey pada 1920-an disusul Joe Louis pada 1930-an, tinju mulai dikenal di Batavia.

Cikal bakal organisasi tinju di Indonesia adalah Boksbond Batavia En Omstreken. Kantornya terletak di Postweg Noord 11, Batavia, dekat Kantos Pos Pasar Baru sekarang. Dulu bertinju hanya dilakukan para marinir Belanda yang bertugas di Indonesia.

Ada anggapan sangat tabu jika dikalahkan petinju inlander. Biarpun begitu ada satu petinju pribumi yang tetap tekun dan rutin berlatih, yakni Kid Darlin. Dia dilatih Jimmy Kick Stall bersama petinju Belanda.

Darlin merupakan petinju pribumi pertama yang tampil di atas ring. Dia tidak segan-segan bertanding melawan petinju Belanda. Sejak itu banyak pemuda Batavia ikut-ikutan berlatih tinju, sehingga pertandingan tinju pada zaman penjajahan semakin marak.

Pertandingan tinju biasanya dilangsungkan di Princen Park (Lokasari), Deca Park (Lapangan Monas), Varia Park (Krekot), Pasar Gambir, dan Bioskop Sawah Besar. Di luar Batavia, pertandingan tinju pernah diselenggarakan di Bandung, Semarang, Surabaya, dan Medan. Di Batavia sendiri banyak berdiri sasana tinju.

Pertandingan yang paling ramai berlangsung antara Tan Gue Tek melawan Ricks. Juara dunia tinju kelas berat saat itu, Max Schemeling, bertindak sebagai wasit. Pertandingan tinju umumnya dilangsungkan bila ada pasar malam.

Pada 1954 didirikan Pertigu (Persatuan Tinju dan Gulat), dengan ketua pertamanya Frans Mendur, seorang wartawan. Ketika itu tinju dan gulat termasuk hiburan umum. Maka untuk menggelar pertandingan harus memperoleh rekomendasi dari Pertigu, selanjutnya mengajukan izin ke pihak kepolisian.

(Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya)

Thursday, January 10, 2013

Proklamasi di Rengasdengklok

AppId is over the quota
Proklamasi di Rengasdengklok Rumah singgah Bung Karno di Rengasdengklok, Jawa Barat.

Kemarin kita peringati HUT Kemerdekaan Indonesia, Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan negara tercinta ini, tepat pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun, pastinya tidak banyak yang tahu, jika Camat Rengasdengklok sudah memproklamirkan kemerdekaan Indonesia sehari sebelumnya, yaitu pada 16 Agustus 1945. Bagaimana bisa?

Her Suganda, dalam bukunya berjudul: "Rengasdengklok, Revolusi dan Peristiwa 16 Agustus 1945," menceritakan; Rengasdengklok pada Kamis pagi, 16 Agustus 1945 sebenarnya menjadi tuan rumah penyelenggaraan rapat evaluasi hasil pengumpulan padi dari daerah ini. Tempatnya di pendopo kawedanan.

Akan tetapi sebelum rapat dimulai, datang perwira PETA menemui Soejono Hadipranoto, soncho (camat) yang berwenang saat itu, dengan membawa kabar mengejutkan: Jepang sudah kalah perang! Karena itu, sebelum tentara Sekutu datang dan menguasai Indonesia, bangsa Indonesia harus sudah menyatakan dirinya Merdeka.

Sebagai satu-satunya penguasa di wilayah Rengasdengklok, jadilah para pemuda meminta Soejono Hadipranoto, untuk mengumumkan pernyataan kemerdekaan Indonesia dan mengibarkan bendera merah-putih saat itu juga.

Maka persiapan rapat pun berubah menjadi persiapan upacara. Bendera merah putih disiapkan, warga disekitar dan para peserta rapat dikumpulkan di halaman kawedanan, dan bertugas sebagai pengerek bendera adalah beberapa orang dari pasukan seinendan. Setelah segalanya siap, dipimpin soncho Soejono Hadipranoto upacara dimulai.

Pertama-tama bendera Jepang diturunkan, setelah itu Sang Merah Putih segera dikibarkan. Saat itu semua orang diam, tak ada suara yang terdengar seolah-olah mereka menahan nafasnya. Selanjutnya Soejono berpidatomengatakan bahwa Jepang sudah kalah perang namun tak lama lagi tentara Sekutu akan datang dan menguasai Indonesia.

Maka sebelum semua ini terjadi, bangsa Indonesia harus sudah menyatakan dirinya Merdeka, sebab kalau tidak, rakyat beserta kekayaan negara kita akan diserah-terimakan oleh Jepang sebagai pihak yang kalah kepada pihak Sekutu. Oleh karenanya, pada saat itu juga, diumumkan penyataan bahwa sejak saat ini; "Bangsa Indonesia adalah bangsa yang Merdeka, yang berkuasa penuh dalam negaranya sendiri yang berbentuk Republik, Republik Indonesia."

Para pengunjung riuh rendah menyambut pidato itu, ada yang bersorak, ada yang bertepuk tangan, ada yang berteriak. Ada yang tertawa atau tersenyum saja, ada pula yang merasa tak percaya mendengarnya. Sesudah pidato, upacara pun selesai dan pengunjung dibubarkan (Kompas Media Nusantara, 2009).

Esoknya, mendengar Proklamasi Kemerdekaan dibacakan oleh Soekarno dan Hatta dengan mengatas namakan rakyat Indonesia, maka masyarakat Rengasdengklok semakin yakin akan tibanya Kemerdekaan Indonesia. Dirgahayu Indonesia.

(Lily Utami, pemerhati sejarah dan budaya)

Asal-usul Nama Kampung Kwitang

AppId is over the quota

NAMA Kwitang sudah populer sejak lama. Ketika pada 1980-an pedagang buku bekas berjualan di kawasan ini, nama Kwitang kerap disebut-sebut. Konon nama Kwitang berasal dari Kwee Tang Kiam (sumber lain menyebut Kwik Tang Kiam), seorang pengembara Tiongkok yang datang ke Batavia pada abad ke-17.

Dia adalah pedagang obat sekaligus ahli bela diri kuntao (semacam silat). Karena usahanya berhasil, Kwee menjadi kaya raya. Hampir semua tanah yang berada di lingkungan tempat tinggalnya, merupakan miliknya. Maka orang-orang Betawi menyebutnya kampung si Kwitang. Pendapat berbeda terdapat dalam www.budaya-tionghoa.net. Dikatakan nama Kwitang berasal dari Guidang, yakni nama provinsi Guangdong dalam lafal Hokkian.

Kehebatan ilmu silat Kwee Tang Kiam diakui masyarakat saat itu. Dia mengajarkan jurus-jurus ampuh yang memadukan unsur tenaga, kekuatan fisik, dan kecepatan. Hal ini sangat berbeda dengan aliran silat Betawi yang lebih menonjolkan ilmu kebatinan. Akulturasi silat Betawi dengan kuntao menyebabkan Kwitang dikenal sebagai gudangnya jagoan pencak silat.

Dalam novel Nyai Dasima yang disusun dalam bahasa Melayu rendah (1896), misalnya, dikisahkan Dasima dibunuh oleh seorang jago dari Kwitang (Heuken, Tempat-tempat bersejarah di Jakarta, 1997). Perguruan silat Mustika Kwitang pernah disegani dan melahirkan atlet-atlet berbakat dalam beberapa kali ajang Pekan Olahraga Nasional (PON). Sayang kini perguruan tersebut kian terpuruk bahkan nyaris punah.

Tanah milik Kwee pun berkurang sedikit demi sedikit karena ulah anaknya yang gemar berjudi. Tanah itu dijual kepada orang-orang keturunan Arab yang banyak bermukim di sana. Komunitas Arab Betawi ini kemudian mendirikan masjid Kwitang yang diresmikan oleh Presiden Soekarno pada 1963. Masjid ini menjadi besar karena kepemimpinan Habib Kwitang. Saat ini berbagai aktivitas keagamaan masih diselenggarakan oleh majelis taklim Kwitang.

Satu abad lalu, kampung ini masih dilalui getek-getek dari bambu yang melintas di Sungai Ciliwung. Di sungai ini para warga melakukan hajat, seperti mencuci, mandi, berwudhu, dan buang air besar. Kala itu letak rumah-rumah lebih tinggi dari sungai, sehingga bila Ciliwung meluap tidak sampai menimbulkan banjir.

(Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya)